Rabu, 21 Juli 2010

PERLAKUAN AKUNTASNI PTPN XI (PERSERO)

MASALAH PERCERAIAN DALAM ISLAM

Sistem Masyarakat Islam dalam
Al Qur'an & Sunnah
oleh Dr. Yusuf Qardhawi

TALAK (PERCERAIAN)
Para Misionaris dan Orientalis dewasa ini memusatkan serangannya pada dua permasalahan yang berkaitan dengan wanita, yaitu masalah perceraian (talak) dan poligami. Sungguh sangat disayangkan ghazwul fikri yang disebarkan oleh mereka itu sudah mendapat sambutan luas dari kaum Muslimin. Sehingga mereka ikut-ikutan menganggap kedua masalah tersebut sebagai problematika rumah tangga dan masyarakat. Padahal sesungguhnya Islam tidak mensyari'atkan kedua masalah tersebut kecuali untuk menyelesaikan problematika yang cukup banyak dalam kehidupan lelaki, wanita, rumah tangga dan masyarakat. Dan problem yang sebenarnya adalah terletak pada kesalahfahaman terhadap syari'at Allah atau salah dalam penerapannya. Dan segala sesuatu, apabila tidak benar dalam penerapannya maka akan menimbulkan bahaya yang lebih besar.
Mengapa Islam Memperbolehkan Talak?
Tidak setiap perceraian itu dibolehkan dalam Islam, karena ada talak yang dimakruhkan, bahkan diharamkan. Karena hal itu dapat merobohkan bangunan rumah tangga yang sangat ditekankan Islam agar kita membina dan membangunnya. Oleh karena itu Rasulullah SAW bersabda, "Perkara halal yang paling dibenci oleh Allah adalah perceraian." Sehingga perceraian yang disyari'atkan oleh Islam itu mirip dengan operasi menyakitkan yang dirasakan oleh seseorang yang menjalani sakitnya. Bahkan terkadang salah satu anggota tubuhnya harus dipotong demi menjaga seluruh anggota tubuhnya yang tersisa, atau karena menghindarkan bahaya yang lebih besar. Apabila sampai diputuskan untuk bercerai antara dua pasangan dan tidak berhasil segala sarana perbaikan dan upaya mempertemukan kembali di antara kedua belah pihak, maka perceraian dalam keadaan seperti ini merupakan obat yang sangat pahit yang tidak ada obat yang lainnya. Oleh karena itu dikatakan dalam pepatah, "Jika tidak mungkin bertemu, maka ya berpisah." Al Qur'an Al Karim juga mengatakan:
"Jika keduanya bercerai, maka Allah akan memberi kecukupan kepada masing-rnasing dari limpahan karunia-Nya..." (An-Nisa': 130)
Apa yang telah disyari'atkan oleh Islam, itulah yang sesuai dengan akal, hikmah dan kemaslahatan. Karena termasuk sesuatu yang jauh dari logika akal sehat dan fithrah, jika dipaksakan dengan kekuatan hukum suatu pabrik yang merusak dua penanam saham yang keduanya tidak saling bertemu dan tidak saling mempercayai. Sesungguhnya memaksakan kehidupan ini dengan kekuasaan hukum adalah siksaan yang keras. Manusia tidak tahan, karena itu lebih buruk daripada penjara sepanjang masa. Bahkan menjadi neraka yang kita tidak kuat menahannya. Seorang ahli hikmah mengatakan, "Sesungguhnya bahaya yang terbesar adalah mempergauli orang yang tidak menyetujui kamu dan tidak menentang kamu."
Mempersempit Lingkup Perceraian
Islam telah meletakkan sejumlah kaidah (prinsip-prinsip) dan ajaran-ajaran yang seandainya manusia mau mengikuti dengan baik dan melaksanakannya, maka sedikit sekali kita menemukan perceraian dan niscaya semakin minim perceraian itu. Di antara prinsip-prinsip itu adalah:
1. Memilih isteri dengan baik dengan cara memusatkan perhatian pada agama dan akhlaq sebelum harta, pangkat (jabatan) dan kecantikan.
Rasulullah SAW bersabda:
"Wanita itu dinikahi karena empat perkara. Karena hartanya, keturunannya, kecantikannya dan karena agama, maka beruntunglah orang yang memperoleh wanita yang kuat agama-nya, maka tanganmu akan penuh debu (rugi) jika tidak kamu ikuti." (HR. Muttafaqun 'Alaih)
2. Melihat wanita yang dikhitbah sebelum terlaksananya aqad, agar memperoleh kemantapan dan kepuasan hati. Karena melihat sejak dini itu merupakan langkah menuju kerukunan dan cinta kasih.
3. Perhatian wanita dan wali-walinya untuk memilih suami yang mulia (baik) dan mengutamakan yang baik agama dan akhlaqnya, sebagaimana petunjuk dalam Sunnah.
4. Disyaratkan pihak wanita harus ridha untuk menikah dengan calon suami yang ditawarkan kepadanya. Tidak boleh ada pemaksaan untuk menikah dengan orang yang tidak dicintainya.
5. Mendapat ridha (memperoleh persetujuan) dari wali wanita, baik yang wajib atau sunnah.
6. Bermusyawarah dengan ibu dari calon pengantin putri, agar pernikahan itu disetujui oleh semua pihak. Karena Rasulullah SAW bersabda, "Ajaklah para wanita untuk bermusyawarah tentang anak-anak wanitanya."
7. Diwajibkannya mempergauli (bergaul) dengan baik dan melaksanakan hak-hak dan kewajiban antara suami isteri, serta membangkitkan semangat keimanan untuk berpegang teguh pada ketentuan-ketentuan Allah serta bertaqwa kepada Allah SWT.
8. Mendorong suami agar hidup secara realistis, karena tidak mungkin ia menginginkan kesempurnaan mutlak pada isterinya. Tetapi hendaknya ia melihat yang baik-baik (kebaikan-kebaikan), selain kekurangan-kekurangannya. Jika ia tidak suka kepada suatu sikap tertentu dari isterinya ia juga merasa senang dengan sikapnya yang lain.
9. Mengajak para suami untuk berfikir dengan akal dan kemaslahatan. Jika ia merasa tidak suka terhadap isterinya, maka jangan sampai ia cepat memperturuti perasaannya, dengan mengharap semoga Allah merubah sikapnya dengan yang lebih baik. Allah berfirman:
"Dan pergaulilah mereka (isterimu) dengan baik. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak." (An-Nisa': 19)
10. Memerintahkan kepada suami untuk menghibur dan menasehati isterinya yang sedang nusyuz dengan bijaksana dan bertahap. Dari lemah lembut yang tidak lemah, sampai pada yang keras namun tidak kasar. Allah berfirman:
"Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesunggahnnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar." (An-Nisa': 34)
11. Memerintahkan masyarakat untuk ikut menyelesaikan ketika terjadi perselisihan antara suami isteri, yaitu dengan membentuk "Majlis Keluarga." Majlis ini terdiri dari orang-orang yang bisa dipercaya dari keluarga kedua belah pihak, untuk berupaya mengishlah dan merukunkan serta memecahkan krisis yang menimpa dengan baik, Allah SWT berfirman:
"Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam (juru damai) dari keluarga perempuan. Jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufiq kepada suami isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal." (An-Nisa': 35)
Inilah beberapa ajaran Islam, yang seandainya kaum Muslimin mau mengikutinya dan memeliharanya dengan sungguh-sungguh maka kasus perceraian itu akan berkurang.
Kapan dan Bagaimana Perceraian itu Dilakukan?
Islam tidak mensyari'atkan talak (perceraian) pada setiap waktu dan setiap keadaan. Sesungguhnya talak yang diperbolehkan sesuai dengan petunjuk Al Qur'an dan As-Sunnah adalah hendaknya seseorang itu pelan-pelan dan memilih waktu yang sesuai. Maka tidak boleh mencerai istrinya ketika haid, dan tidak boleh pula dalam keadaan suci sedangkan ia mempergaulinya. Jika ia melakukan hal itu maka talaknya adalah talak yang bid'ah dan diharamkan. Bahkan sebagian fuqaha' berpendapat talaknya tidak sah, karena dijatuhkan tidak sesuai dengan perintah Nabi SAW Rasulullah SAW bersabda, "Barangsiapa yang melakukan perbuatan tanpa dilandasi perintah kami maka itu tertolak (tidak diterima)." Dan wajib bagi seseorang yang mentalak bahwa dia dalam keadaan sadar. Apabila ia kehilangan kesadaran, terpaksa, atau dalam keadaan marah yang menutup ingatannya sehingga ia berbicara yang tidak ia inginkan, maka menurut pendapat yang shahih itu tidak sah. Berdasarkan hadits, "Tidak sah talak dalam ketidaksadaran." Abu Dawud menafsirkan hadits ini dengan 'marah', dan yang lain mengartikan karena 'terpaksa'. Kedua-duanya benar.
Dan hendaklah orang yang mencerai itu bermaksud untuk mencerai dan berpisah dari isterinya. Adapun menjadikan talak itu sebagai sumpah atau sekedar menakut-nakuti, maka tidak sah menurut pendapat yang Shahih sebagaimana dikatakan oleh sebagian ulama salaf dan ditarjih oleh Al 'Allamah lbnul Qayyim dan gurunya Ibnu Taimiyah. Jika semua bentuk talak ini tidak sah maka tetaplah talak yang diniati dan dimaksudkan yang berdasarkan pemikiran dan yang sudah dipelajari sebelumnya. Dan ia melihat itulah satu-satu jalan penyelesaian untuk keselamatan dari kehidupan yang ia tidak lagi mampu bertahan. Inilah yang dikatakan Ibnu Abbas, "Sesungguhnya talak itu harena diperlukan."
Yang Dilakukan Setelah Talak
Perceraian yang terjadi tidak harus memutuskan hubungan suami isteri sama sekali, yang kemudian tidak ada jalan menuju perbaikan. Karena talak seperti dijelaskan dalam Al Qur'an memberikan bagi setiap orang yang bercerai untuk mengevaluasi dan mempelajari kembali. Oleh karena itu talak terjadi satu kali, satu kali. Apabila kedua kalinya tidak juga bermanfaat maka terjadilah talak ketiga yang memutuskan hubungan selamanya, sehingga tidak halal baginya setelah itu. Maka mengumpulkan tiga talak dalam satu ucapan itu bertentangan dengan syari at Al Qur'an. Inilah yang dijelaskan dan diambil oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan muridnya Ibnu Qayyim dan yang dipakai Mahkamah Syar'iyah di negara-negara Arab.
Perceraian tidak mengharamkan bagi wanita untuk memperoleh nafkah selama masa iddah, dan tidak boleh bagi suami mengeluarkan isterinya dari rumah. Bahkan wajib atas suami untuk membiarkan sang istri tinggal di rumahnya dekat dengan dia, barangkali dengan begitu kerukunan akan kembali dan hati menjadi jernih. Allah SWT berfirman:
"Kamu tidak mengetahui barangkali Allah mengadakan sesudah itu suatu hal yang baru." (At-Thalaq: 1)
Perceraian tidak memperbolehkan bagi seseorang untuk memakan mahar (maskawin) yang telah diberikan kepada isterinya atau meminta kembali mahar atau segala sesuatu yang telah diberikan kepada isterinya sebelum perceraian, Allah SWT berfirman:
"Tidak halal bagi kamu mengambil kembali dari sesuatu yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah." (Al Baqarah: 229)
Begitu pula isteri yang ditalak itu berhak memperoleh mut'ah sebagaimana ditetapkan oleh kebiasaan. Allah SWT berfirman:
"Kepada wanita-wanita yang diceraikan (hendaklah diberikan oleh suaminya) mut'ah menurut yang ma'ruf, sebagai suatu kuwajiban bagi orang-orang yang bertaqwa" (Al Baqarah: 241)
Selain itu tidak halal bagi suami (yang mentalak) bersikap keras terhadap isterinya atau menyebarkan keburukannya atau menyakiti dirinya dan keluarganya. Allah SWT berfirman:
"Talak (yang dapat dirujuki) itu dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik." (Al Baqarah: 229)
"Dan janganlah kamu melupakan keutamaan di antara kamu." (Al Baqarah: 237)
Inilah talak yang disyari'atkan oleh Islam. Sungguh itu merupakan terapi yang diperlukan pada saat dan alasan yang tepat, dengan tujuan dan cara yang benar.
Agama Masehi Katolik mengharamkan talak secara mutlak kecuali dengan alasan zina menurut Katolik Ortodox, sehingga mayoritas kaum Masehi Kristen keluar dari hukum yang mereka yakini yaitu haramnya talak. Itulah yang membuat sebagian besar negara-negara Kristen memberlakukan hukum buatan mereka sendiri yang memperbolehkan cerai tanpa memakai persyaratan-persyaratan sebagaimana hukum Islam dengan segala ketentuan-ketentuan serta adab-adabnya. Maka tidak heran jika mereka itu bisa bercerai dengan sebab-sebab yang sepele (ringan) dan akhirnya kehidupan rumah tangga mereka terancam berantakan dan hancur.
Alasan Hak Cerai di Tangan Lelaki
Mereka bertanya mengapa hak cerai itu di tangan lelaki dan mempermasalahkannya, maka kita jawab, "Sesungguhnya lelaki adalah sebagai kepala rumah tangga, yang bertanggungjawab pertama kali dan yang memikul beban di dalam rumah tangganya. Dialah yang harus memberikan mahar dan kewajiban-kewajiban lain setelahnya, sehingga dia dapat membangun rumah tangga di atas tanggung jawabnya. Barangsiapa dapat berbuat demikian maka ia menjadi mulia dan tidak mungkin merusak bangunan rumah tangga itu kecuali karena ada tujuan-tujuan tertentu, atau karena kebutuhan yang memaksa yang menjadikan ia berkorban dengan menanggung seluruh kerugian karenanya. Kemudian laki-laki itu pada umumnya lebih mengetahui tentang akibatnya dan lebih banyak bertahan, serta lebih sedikit terpengaruh daripada wanita, sehingga lebih baik jika wewenang itu berada di tangannya. Adapun wanita, ia cepat terpengaruh, mudah emosi dan selalu hangat perasaannya. Kalau seandainya talak itu berada dalam kekuasaannya, pasti akan sering terjadi perceraian dengan alasan-alasan yang ringan dan perselisihan kecil. Bukan pula suatu kemaslahatan jika talak itu diserahkan kepada Peradilan (Mahkamah), karena tidak setiap sebab talak itu boleh diumumkan di peradilan yang kemudian menjadi permainan para pengacara dan para penulis serta menjadi bahan perbincangan. Orang-orang Barat telah menjadikan talak melalui peradilan, maka tidak sedikit perceraian di kalangan mereka dan peradilan tidak henti-hentinya mengurus suami-istri yang ingin bercerai.
Bagaimana Seorang Istri yang tidak Suka Pada Suami Itu Bisa Melepaskan Dirinya?
Ada pertanyaan yang menghantui kebanyakan orang, yaitu, "Jika talak itu berada di tangan laki-laki sebagaimana yang kita ketahui alasan-alasannya, maka apa wewenang yang diberikan oleh syari'at Islam kepada wanita? Dan bagaimana cara menyelamatkan dirinya dari cengkeraman suaminya jika ia tidak suka hidup bersama karena tabi'atnya yang kasar, atau akhlaqnya yang buruk, atau karena suami tidak memenuhi hak-haknya atau karena lemah fisiknya, hartanya, sehingga tidak bisa memenuhi hak-haknya atau karena sebab-sebab lainnya."
Sebagai jawabannya adalah, "Sesungguhnya Allah SWT Yang Bijaksana telah memberikan kepada wanita beberapa jalan keluar yang dapat membantu wanita untuk menyelamatkan dirinya, antara lain sebagai berikut:
1. Wanita membuat persyaratan ketika aqad bahwa hendaknya ia diberikan wewenang untuk bercerai. Ini boleh menurut Imam Abu Hanifah dan Ahmad. Dalam hadits shahih dikatakan, "Persyaratan yang benar adalah hendaknya kamu memenuhinya selama kamu menginginkan halal kemaluannya."
2. Khulu', wanita yang tidak suka terhadap suaminya boleh menebus dirinya, yaitu dengan mengembalikan maskawin yang pernah ia terima atau pemberian lainnya. Karena tidaklah adil jika wanita yang cenderung untuk cerai dan merusak mahligai rumah tangga, sementara suaminya yang menanggung dan yang dirugikan. Allah SWT berfirman,
"Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus diri. . ." (Al Baqarah: 229)
Di dalam hadits diceritakan bahwa isteri Tsabit bin Qais pernah mengadu kepada Rasulullah SAW tentang kebenciannya kepada suaminya. Maka Nabi SAW bersabda kepadanya, "Apakah kamu sanggup menggembalikan kebunnya, yang dijadikan sebagai mahar" maka wanita itu berkata, "Ya." Maka Nabi SAW memerintahkan Tsabit untuk mengambil kebunnya dan Tidak lebih dari itu.
3. Berpisahnya dua hakam (dari kedua belah pihak) ketika terjadi perselisihan. Allah SWT berfirman:
"Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka kirimkanlah seorang hakam dan keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. Jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscanya Allah memberi taufik kepada suami isteri ini."
Penamaan Al Qur'an terhadap Majlis keluarga ini dengan nama "Hakamain" menunjukkan bahwa keduanya mempunyai hak memutuskan (untuk dilanjutkan atau tidak). Sebagian sahabat mengatakan kepada dua hakam, "Jika kamu berdua ingin mempertemukan, pertemukan kembali, dan jika kamu berdua ingin memisahkan maka pisahkanlah.
4. Memisahkan (menceraikan) karena lemah syahwat, artinya apabila seorang lelaki itu lemah dalam hubungan seksual maka diperbolehkan bagi seorang wanita untuk mengangkat permasalahannya ke hakim sehingga hakimlah yang memutuskan pisah di antara keduanya. Hal ini untuk menghindarkan wanita itu dari bahaya, karena tidak boleh saling membahayakan di dalam Islam.
5. Meminta cerai karena perlakuan suami yang membahayakan, seperti seorang suami yang mengancam isterinya, menyakitinya, dan menahan infaqnya. Maka boleh bagi isteri untuk meminta kepada qadhi untuk menceraikannya secara paksa agar bahaya dan kezhaliman itu dapat dIhindarkan dari dirinya. Allah SWT berfirman:
"Janganlah kamu tahan mereka untuk memberi kemudharatan, karena dengan demikian kamu menganiaya mereka..." (Al Baqarah: 231)
"Maka ditahan (dirujuk) dengan baik atau menceraikan dengan cara yang baik..." (Al Baqarah: 229)
Di antara bahaya yang mengancam adalah memukul isteri tanpa alasan yang benar.
Bahkan sebagian imam berpendapat bolehnya menceraikan antara wanita dengan suaminya yang kesulitan, sehingga ia tidak mampu untuk memberikan nafkah dan isterinya meminta cerai. Karena hukum tidak membebani dia untuk bertahan dalam kelaparan dengan suami yang fakir. Sesuatu yang ia tidak bisa menerima sebagai realisasi kesetiaan dan akhlaq yang mulia. Dengan solusi ini maka Islam telah membuka kesempatan bagi wanita sebagai bekal persiapan untuk menyelamatkan dirinya dari kekerasan suami dan penyelewengan kekuasaan suami yang tidak benar. Sesungguhnya undang-undang yang dibuat para ahli tidak lebih hanya menzhalimi hak-hak wanita. Adapun sistem yang dibuat Allah SWT sebagai pencipta manusia, laki-laki atau perempuan maka tidak ada kezhaliman di dalamnya dan tidak ada pernikahan. Itulah keadilan yang sempuma, Allah SWT berfirman:
"Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin. (Al Maidah: 50)
Salah Faham dan Salah Terap dalam Talak
Kebanyakan kaum Muslimin telah salah dalam menfungsikan talak. Mereka menempatkannya bukan pada tempatnya dan mereka menggambarkan talak itu seakan seperti pedang yang dihunus lalu diletakkan di atas leher sang isteri. Mereka juga mempergunakan sebagai sumpah untuk sesuatu yang berat atau yang ringan. Banyak fuqaha' yang memperluas di dalam menjatuhkan talak, sampai talaknya orang yang mabuk dan marah, bahkan orang yang terpaksa. Padahal haditsnya mengatakan, "Tidak sah talak yang dalam ketidaksadaran." Ibnu Abbas berkata, "Sesungguhnya talak itu berdasarkan keperluan." Sehingga mereka juga menjatuhkan talak tiga dengan satu perkataan ketika marah. Padahal talak itu dimaksudkan untuk menakut-nakuti dalam pertengkaran di luar rumah, sedangkan dengan isterinya ia sangat bahagia dan rukun. Tetapi yang dimaksud oleh nash-nash dan tujuan dari syari'ah yang mudah di dalam membina rumah tangga dan memeliharanya, adalah mempersempit dalam menjatuhkan talak, maka tidak sah kecuali dengan kata-kata yang jelas, pada saat tertentu, dan dengan maksud tertentu. Inilah yang kita berlakukan, pendapat yang dianut oleh Imam Bukhari dan sebagian ulama salaf, Ibnu Taimiyah dan Ibnul Qayyim dan ulama lainnya memperkuat pendapat ini dan menyetujuinya, ini pula yang sesuai dengan ruh Islam. Adapun kesalahfahaman dan salah penerapan hukum Islam itu adalah tanggung jawab kaum Muslimin, bukan tanggungjawab Islam itu sendiri.

Sistem Masyarakat Islam dalam Al Qur'an & Sunnah
(Malaamihu Al Mujtama' Al Muslim Alladzi Nasyuduh)
oleh Dr. Yusuf Qardhawi
Cetakan Pertama Januari 1997
Citra Islami Press
Jl. Kol. Sutarto 88 (lama)
Telp.(0271) 632990 Solo 57126

KERAJAAN DANGDUT INDONESIA: Raden ഓമ Irama

KERAJAAN DANGDUT INDONESIA: Raden ഓമ Irama

Sabtu, 13 Februari 2010

Submit website

Tante Wina dari Ngagel

Tante Wina dari Ngagel

Minggu, 17 Januari 2010

SHOLAT KHUSU' SALAH KAPRAH

Pertanyaan yang sering sekali ditanyakan oleh pengunjung sufimuda kepada saya lewat email adalah bagaimana shalat bisa menjadi khusyuk, apakah kita bisa melaksanakan shalat khusyuk dan ada juga yang berpendapat bahwa hanya nabi Muhammad SAW berserta sahabat-sahabatnya dan ulama salafush shalih saja yang benar-benar bisa melaksanakan shalat dengan khusyuk selain dari mereka tidak ada yang bisa melaksanakan shalat khusyuk.

Terhadap pendapat terakhir saya kurang setuju karena kalau memang cuma Nabi dan para sahabat yang bisa shalat khusyuk maka hampir semua orang dimuka bumi ini akan masuk neraka wail, dengan demikian fungsi Al-Qur’an dan hadist sia-sia, juga peran ulama sebagai penyambung dakwah dan sebagai pewaris ilmu nabi juga tidak akan berguna sama sekali.

Khusyuk menurut Guru Ngaji Saya

Saya masih ingat ketika masih kelas 1 SMP waktu itu masih berumur 12 tahun, saya diajarkan cara shalat khusyuk oleh guru ngaji. Beliau mengatakan untuk bisa mencapai shalat khusyuk kita harus mengetahui makna dari ayat-ayat yang dibaca dalam shalat, kemudian harus kita hayati dalam hati. Antara ucapan dan gerak badan harus selaras, mengucapkan harus benar-benar masuk kedalam hati bukan hanya di bibir saja. Kemudian Beliau memberikan tanda-tanda shalat kita itu sudah khusyuk. Ketika mata kita menatap ke sajadah perhatikan dalam-dalam, nanti akan ada bayangan bulat samara-samar, saat itulah shalat kita menjadi khusyuk.

Saya meyakini apa yang diajarkan oleh guru ngaji saya, saat muncul bayangan bulat itu saya sangat senang karena saya yakin sekali kalau shalat saya sudah mencapai tahap khusyuk dan ketika bayangan itu tidak muncul maka saya jadi sedih. Saya yakin sekali apa yang diajarkan oleh guru ngaji, karena beliau adalah alumni salah satu pasantren terkenal di daerah saya.

Metode shalat khusyuk yang disampaikan oleh ustad saya itu tidak ada bedanya dengan metode pelatihan shalat khusyuk yang disampaikan oleh ustad Abu Sangkan. Setiap sore saya menyempatkan diri untuk menonton acara di Metro TV tentang pelatihan shalat khusyuk yang dibawakan oleh ustad Abu Sangkan.

Seperti juga guru ngaji saya dulu, Abu Sangkan berkeyakinan bahwa shalat khusyuk itu identik dengan ketenangan dan hilangnya kesadaran. Abu Sangkan mengatakan bahwa ketika bertakbiratul ihram kita harus membuang ingatan kita terhadap apapun. “Tidak ada Guru Mursyid, tidak ada Syekh Tarikat dan tidak ada zikir yang ada hanyalah Allah semata-mata”. Persis sekali yang diajarkan oleh guru ngaji saya, cuma Abu sangkan menyampaikannya lebih lengkap disertai dengan kajian-kajian ilmiah. Apa memang demikian shalat khusyuk?

Shalat khusyuk bukanlah mengosongkan pikiran seperti dalam meditasi yoga, karena kalau kita memaksakan pikiran untuk kosong pada saat itulah timbul nafsu kita dan syetan sangat halus dan sangat lihai untuk menyusup di alam bawah sadar kita. Sama juga orang yang mencapai shalat khusyuk lewat alat-alat elektronik, mendengarkan lagu yang dibuat khusus agar kerja otak menjadi berimbang antara kiri dan kanan. Cara seperti ini memang akan mencapai ketenangan akan tetapi kita juga harus pertanyakan lagi apakah memang ketenangan seperti itu yang dinamakan khusyuk, dan apakah memang demikian yang dikehendaki oleh Allah SWT?

Khusyuk di atas dengan berbagai jenis pelatihan bagaimanapun masih pada tataran akal dan kita merasa khusyuk menurut sendiri. Ustad Abu Sangkan menulis buku dengan judul “Spiritual Salah Kaprah” untuk mengkritik ESQ, pelatihan lewat musik untuk menstimulasi otak yang bersifat instant dan kita tidak pernah bisa mencapai kesempurnaan spiritual yang dilakukan oleh kaum sufi, demikian pendapat Abu Sangkan.

Menurut saya pelatihan shalat khusyuk yang diperkenalkan oleh Abu Sangkan juga masih dalam tataran otak dan pemikiran, karena menafikan sama sekali fungsi Mursyid dan sudah pasti yang di dapat bukan Nur Allah akan tetapi ketenangan yang tidak tahu berasal dari unsur apa. Berbicara masalah rasa (tenang, damai, dll) itu masih bersifat sangat subjektif. Maka saya menyebutkan pelatihan khusyuk ala Abu Sangkan sebagai Shalat Khusyuk Salah Kaprah.



Khusyuk Menurut Sufi

Menurut golongan sufi, khusyuk itu bukan tidak mengingat sesuatu, akan tetapi seseorang dikatakan khusyuk apabila dia terus menerus bisa memandang wajah Allah SWT. Kalau kita ingin menghilangkan pikiran terhadap hal-hal yang bersifat kebendaan bukan berarti kita mengosongkan pikiran sama sekali karena di dunia ini tidak ada yang kosong. Setiap yang kosong itu mesti di isi oleh dua unsur; Haq atau Bathil.

Shalat khusyuk adalah kondisi dimana sang hamba bisa berdialog dengan Tuhannya di alam rabbani, maka disebutkan “Shalat itu adalah Mi’raj bagi orang mukmin”. Pada saat shalat maka rohani kita akan terangkat ke Alam Rabbani, alam yang ada hanya Allah SWT.

Mengingat wajah Muryid dalam shalat bagi seorang pemula jauh lebih terbimbing sebelum seseorang mencapai maqam makrifat dari pada mengosongkan fikiran yang justru sangat mudah disusupi oleh syetan tanpa kita sadari. Wajah Guru Mursyid yang kamil mukamil dan khalis mukhlisin tidak akan bisa ditiru oleh syetan dan kalau ada syetan yang mencoba meniru wajah Mursyid akan langsung terbakar. Jangankan Guru Mursyid, photonya saja tidak akan bisa didekati oleh jin dan sejenisnya termasuk para dukun yang menyembah jin. Kalau seorang Guru Muryid belum mencapai tahap itu berarti kadar dan keotentikan kemursyidannya perlu dipertanyakan lagi.

Kunci pertama untuk bisa mencapai shalat khusyuk adalah Makrifatulllah, mengetahui hakikat Allah sehingga selalu bisa berdialog dalam shalat. Tanpa mencapai tahap makrifat bagaimanapun canggihnya pelatihan shalat tidak akan mencapai shalat khusyuk yang sesungguhnya karena dalam hati masih bersemayang dan berbisik-bisik syetan yang sangat berbahaya seperti yang disebutkan dalam surat An-Naas.

Bagi pengamal Tarikat, bermakrifat kepada mursyid merupakan awal dari tercapainya shalat khusyuk karena sesungguhnya makrifat kepada Mursyid adalah awal dari makrifat kepada Allah. Daripada anda mengeluarkan biaya yang banyak untuk pelatihan shalat khusyuk dan belum tentu mencapai alam Tuhan lebih baik anda berbaiat kepada salah seorang Guru Muryid yang akan membimbing anda kehadirat Allah SWT. Pelatihan shalat khusyuk mungkin diperlukan oleh orang-orang yang tidak menekuni Tarikatullah agar shalatnya lebih tenang. Pelatihan ini tidak diperlukan sama sekali bagi orang yang telah mempunyai Guru Mursyid apalagi yang telah mencapai tahap makrifat. Apabila anda telah bermakrifat (berjumpa) dengan Allah SWT masih perlukah anda berlatih shalat khusyuk?

Berlatih sopan santun tata cara menghadap Raja hanya diperlukan bagi orang yang akan berjumpa dengan Raja, pelatihan itu tidak diperlukan lagi bagi orang yang telah duduk bercengkerama bersama Raja, karena segala aturan terserah kepada Raja. Mengatur tutur kata berbicara dengan Raja diperlukan oleh orang yang akan menjumpai raja dan tidak akan diperlukan oleh orang yang berulangkali berjumpa dengan raja, karena segala dialog itu terserah kepada kehendak Raja.

Semoga Maharaja Manusia akan selalu memberikan kita kesempatan kepada kita untuk terus bisa singgah di istana-Nya, menikmati perjamuan-Nya dan bisa melayani tamu-Nya. Amien ya Rabbal ‘Alamin



DIarsipkan di bawah: Tasauf | Ditandai: Shalat

Kamis, 14 Januari 2010

EMANSIPASI WANITA

Menggugat Emansipasi

Musuh-musuh Islam dari abad ke abad telah berusaha merusak akhlaq ummat Islam, sebab jika mereka berhasil merusak akhlaq ummat, maka mereka akan mudah merusak aqidah ummat. Mereka selalu membuat opini dan gambaran bahwa mereka (walaupun durhaka & kafir) adalah orang-orang maju. Sedang kaum muslimin yang berpegang teguh dengan ajarannya adalah orang-orang terbelakang dan marginal (pinggiran)!!

Musuh-musuh Islam –utamanya Yahudi & Nasrani- selalu mencari jalan untuk menjauhkan ummat dari agamanya sampai akhirnya kafir alias murtad. Allah berfirman saat membongkar dan menampakkan isi hati mereka di dalam Al-Qur’an,

“Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah: “Sesungguhnya petunjuk Allah, itulah petunjuk (yang benar)”. Dan Sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, Maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu”. (QS. Al-Baqoroh : 120)

Diantara obyek yang paling mereka perangi adalah kaum wanita. Mereka paham bahwa jika wanita rusak, maka kaum lelaki akan terpengaruh. Sebab wanita adalah fitnah (pengaruh) dahsyat dalam menyeret kaum lelaki dalam kemaksiatan dan penyimpangan. Inilah yang disinyalir oleh Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- dalam sabdanya,

إِنَّ الدُّنْيَا حُلْوَةٌ خَضِرَةٌ وَإِنَّ اللَّهَ مُسْتَخْلِفُكُمْ فِيهَا فَيَنْظُرُ كَيْفَ تَعْمَلُونَ فَاتَّقُوا الدُّنْيَا وَاتَّقُوا النِّسَاءَ فَإِنَّ أَوَّلَ فِتْنَةِ بَنِي إِسْرَائِيلَ كَانَتْ فِي النِّسَاءِ

“Sesungguhnya dunia itu manis lagi hijau. Sesungguhnya Allah menjadikan kalian sebagai kholifah di atasnya, lalu Dia akan melihat bagaimana kalian berbuat. Lantaran itu, waspadailah dunia, dan waspadailah wanita, sebab awal fitnah (masalah) di kalangan Bani Isra’il adalah pada wanita”. [HR. Muslim dalam Adz-Dzikr wa As-Du'a' (no.6883)]

Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- bersabda,

مَا تَرَكْتُ بَعْدِي فِتْنَةً أَضَرَّ عَلَى الرِّجَالِ مِنْ النِّسَاءِ

“Aku tidak meninggalkan fitnah (masalah) yang lebih besar atas kaum lelaki setelahku dibandingkan wanita”. [HR. Al-Bukhoriy dalam An-Nikah (no. 5096), dan Muslim dalam Adz-Dzikr wa Ad-Du'a' (no. 7880 & 6881)]

Ahli Hadits Negeri India, Al-Imam Al-Mubarofuriy -rahimahullah- berkata dalam menjelaskan sebab yang menjadikan wanita sebagai fitnah (ujian) terbesar bagi kaum laki-laki, “Sebab tabiat manusia seringnya condong kepada wanita, dan manusia terjerumus ke dalam perkara yang haram gara-gara wanita. Manusia melakukan perang dan permusuhan karena wanita. Minimalnya wanita mendorong seseorang untuk cinta dunia. Nah, kerusakan apakah yang lebih berbahaya daripada ini (cinta dunia)?” [Lihat Tuhfah Al-Ahwadziy (7/89)]

Wanita adalah ujian terbesar bagi kaum lelaki sehingga telah tercatat dalam sejarah bahwa sebagian masalah yang timbul karena berawal dari wanita, seperti perang kabilah, perang antar negara, putusnya hubungan antara seorang dengan orang lain, karena wanita. Tersebarnya kebiasaan-kebiasaan keji (zina), karena pengaruh wanita. Fitnah wanita di zaman ini semakin merajalela dan menjadi-jadi dengan adanya emansipasi dalam segala lini dan sudut kehidupan. Para wanita telah keluar dari rumah kemuliaan dan kesuciannya dengan penuh gejolak keluar menuju jurang kehancuran dan kenistaan, sehingga kita tak akan menemukan sebuah kantor, kecuali diisi oleh wanita. Kita tak akan menemukan suatu lapangan pekerjaan, selain berderet di dalamnya wanita-wanita yang tak punya malu sampai kita akan tertawa dengan sinis diiringi oleh kesedihan ketika melihat para wanita kita menjadi pajangan untuk memuaskan syahwat terlaknat kaum lelaki; menjadi penarik etalase dan jualan; menjadi bulan-bulanan oleh para lelaki berhidung belang; menjadi pemain bola dan pesilat, bahkan jadi pegulat!!? Panti-panti pijat dan panti maksiat lainnya pun tak lepas dari wanita yang menjadi obyek. Sungguh memalukan nasib kaum wanita di zaman emansipasi ini.

Dahulu wanita menjadi manusia terhormat dan terjaga di dalam Islam, yakni di zaman Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam-, para sahabat, tabi’in, tabi’ut-tabi’in dan seterusnya. Lihatlah bagaimana Allah memuliakan para wanita dengan syari’at jilbab dan cadar dalam firman-Nya,

“Hai nabi, Katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka”. yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, Karena itu mereka tidak di ganggu. dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (QS. Al-Ahzab : 59)

“Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang jahiliyah yang dahulu”. (QS. Al-Ahzab : 33)

Para wanita mukminah diperintahkan agar tetap di rumah; Wanita keluar rumah bila ada keperluan yang dibenarkan oleh syara’. Demikianlah demi menjaga kesucian dan kehormatan seorang wanita, bukan sebagai kungkungan dan pemenjaraan sebagaimana yang digambarkan dan disebarkan oleh orang-orang munafiq di zaman ini. Wanita-wanita mukminah harus bersabar dalam melazimi rumahnya demi memelihara kesucian, dan sifat malunya. Mereka pun jika keluar karena ada hajat mendesak, maka mereka keluar dengan adab dan akhlaq Islam, yakni tetap menggunakan hijab dan jilbab syar’iy yang menutupi seluruh tubuhnya. Jilbab ini sifatnya longgar (tidak ketat), dan tebal (tidak transrapan atau tipis), tidak mengundang perhatian kaum lelaki, dan tidak menyerupai pakaian wanita-wanita kafir atau kaum laki-laki. Inilah tips yang harus dilakukan oleh para wanita muslimah untuk membentengi dirinya dari serangan dan permainan orang-orang kafir. Seorang wanita harus memakai jilbab seperti ini. Jika tidak, maka ia akan tergolong wanita yang ber-tabarruj (bersolek) ala jahiliah.

Perhatian: Sebagian wanita-wanita muslimah hari ini banyak memakai jilbab. Hanya disayangkan bahwa mereka tidak memakai jilbab syar’iy. Kebanyakan mereka memakai jilbab moderen yang pendek, lalu dipasangkan dengan pakaian ketat dan celana. Ini bukanlah jilbab syar’iy yang dianjurkan oleh agama, bahkan cara berpakaian seperti itu tercela. Inilah yang diistilahkan oleh Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- dengan “berpakaian, tapi telanjang”. JILBAB SYAR’IY ialah sejenis jilbab besar lagi panjang dan lapang, dapat menutup kepala, muka dan dada hingga terseret ke tanah. Lalu di bawahnya ada jilbab kecil, dan pakaian gamis panjang hingga menutupi kaki. Inilah jilbab syar’iy yang ditinggalkan oleh para wanita muslimah, kecuali yang dirahmati Allah -Azza wa Jalla-. Memang asing, tapi itulah yang syar’iy!!

Para pembaca yang budiman, Jika seorang wanita keluar dari peraduannya, lalu keluar mencari pekerjaan, padahal masih ada yang menanggung hidup dan hajatnya, maka disinilah setan akan memulai makar dan aksinya. Jabir -radhiyallahu anhu- berkata,

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَأَى امْرَأَةً فَأَتَى امْرَأَتَهُ زَيْنَبَ وَهِيَ تَمْعَسُ مَنِيئَةً لَهَا فَقَضَى حَاجَتَهُ ثُمَّ خَرَجَ إِلَى أَصْحَابِهِ فَقَالَ إِنَّ الْمَرْأَةَ تُقْبِلُ فِي صُورَةِ شَيْطَانٍ وَتُدْبِرُ فِي صُورَةِ شَيْطَانٍ فَإِذَا أَبْصَرَ أَحَدُكُمْ امْرَأَةً فَلْيَأْتِ أَهْلَهُ فَإِنَّ ذَلِكَ يَرُدُّ مَا فِي نَفْسِهِ

“Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- pernah melihat seorang wanita, lalu beliau mendatangi istrinya, Zainab sedang ia menyamak kulit miliknya. Beliau menyelesaikan hajatnya (berjimak), lalu keluar menuju para sahabatnya seraya bersabda,”Sesungguhnya wanita datang dalam rupa setan, dan pergi dalam rupa setan. Jika seorang diantara kalian melihat seorang wanita yang mengagumkan (tanpa sengaja, pent.), maka hendaknya ia mendatangi (berjimak dengan) istrinya, karena hal itu akan menolak sesuatu (berupa syahwat) yang terdapat pada dirinya”. [HR. Muslim (no.3393), Abu Dawud (no.2151), dan At-Tirmidziy (no.1158)]

Al-Imam Syamsul Haqq Al-Azhim Abadiy -rahimahullah- berkata menjelaskan dan meluruskan pemahaman tentang hadits ini, “Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- menyerupakan wanita dengan setan dalam sifat waswasah (memberikan bisikan), dan menggelincirkan orang, karena melihat wanita dari segala sisi adalah pengundang menuju kerusakan”. [Lihat Aunul Ma'bud Syarh Sunan Abi Dawud (6/148-149), cet. Darul Fikr, 1415 H]

Seorang ulama’ Syafi’iyyah, Al-Imam An-Nawawiy -rahimahullah- berkata, “Para ulama berkata, “Jadi, wanita itu serupa dengan setan dalam mengajak kepada kejelekan dengan bisikan dan penghias-hiasannya terhadap kejelekan. Diambil sebuah hukum dari hadits ini bahwa sepantasnya bagi seorang wanita agar jangan keluar diantara kaum lelaki, kecuali ada hajat mendesak, dan bahwa seyogyanya kaum lelaki menundukkan pandangan dari melihat pakaiannya, dan memalingkan pandangan darinya secara mutlak”. [Lihat Syarh Shohih Muslim (9/181)]

Demikianlah para wanita di zaman Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam-. Mereka dimuliakan oleh Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- dan para sahabatnya. Mereka menganjurkan para wanita agar tetap berada di rumahnya dalam beraktifitas demi menjaga kesucian dirinya. Beliau tidaklah memerintahkan para wanita keluar dan bekerja di luar rumah, kecuali ada hajat mendesak. Sebab keluarnya para wanita untuk bekerja di sekitar kaum lelaki akan menimbulkan berbagai macam problema sebagaimana yang kita saksikan hari ini. Munculnya berbagai macam pelanggaran sosial berupa prostitusi, selingkuh, zina, pacaran, hubungan gelap, keretakan rumah tangga, pembunuhan, peperangan, permusuhan, dan sederet kemaksiatan. Seringnya dilatari karena problema yang berkaitan dengan wanita. Banyaknya pengangguran di kalangan kaum lelaki yang pada gilirannya menyebabkan banyaknya wanita-wanita menjadi perawan tua, dan lelaki dewasa yang melajang, karena lapangan pekerjaannya “direbut” oleh kaum wanita. Akibatnya kaum lelaki yang tipis agama memilih pintu belakang yang tidak syar’iy alias haram!! Sebaliknya kaum wanita hidup melajang, tanpa pelindung dan penghibur baginya. Ketika itulah wanita hanya bisa gigit jari dan melamun menunggu sang dambaan tak kunjung datang, karena kantong lagi kering alias miskin akibat sempitnya lapangan pekerjaan yang diisi oleh para wanita yang berseliweran bagaikan semut mengelilingi gula. Nas’alullahal afiyah was salamah min fitnatin nisaa’.

Dahulu para wanita kita berhias dengan sifat malu. Namun kini tinggal kenangan saja sejak mereka tertipu dengan propaganda emansipasi yang menghasung mereka untuk keluar dari rumah demi mencari kerja, demi menyaingi kaum lelaki yang selama ini menurut sangkaan mereka yang dusta bahwa kaum lelaki telah melakukan monopoli, menzhalimi hak kaum wanita, wanita dikerangkeng dan diborgol, dan berbagai macam propaganda dan panah kedustaan yang diarahkan kepada Islam yang seakan mengajari ummatnya untuk menzhalimi kaum wanita. Padahal tidaklah demikian, bahkan Islam menjunjung tinggi hak para wanita.

Derajat mereka amat tinggi dalam Islam. Kini sejak mereka meninggalkan petunjuk agamanya, para wanita muslimah turun ke derajat paling rendah. Kini dipermainkan kehormatannya, dan dijadikan barang murahan dengan iming-iming maya dan pujian semu lagi menipu. Kondisi paling jorok dan hina dalam sejarah kaum feminis, kaum wanita dijadikan “bintang” (baca: binatang) dalam TV, majalah, koran atau tabloid dengan penampilan buka-bukaan dan memancing birahi hewani. Mereka bangga dengan kehinaan dan kejorokan seperti ini. Maka maraklah kegiatan setan yang disebut dengan “PORNO AKSI” dan “PORNOGRAFI”. Lebih bejat lagi, ada sebagian orang yang berotak comberan berusaha melegitimasi dan mendukung program bejat itu dengan berbagai macam dalih dan wangsit setan ketika ada yang mengingkarinya. Na’udzu billah minasya syaithon wa junudih.

Itulah realita yang terjadi di negeri kita; ada sekelompok manusia mengusung dan memperjuangkan emansipasi zhalim tersebut demi merusak ummat Islam. Mereka mewahyukannya kepada teman-teman, dan bala tentara mereka untuk memusuhi petunjuk para nabi. Allah -Ta’ala- berfirman,

“Dan demikianlah kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu syaitan-syaitan (dari jenis) manusia dan (dan jenis) jin, sebahagian mereka mewahyukan (membisikkan) kepada sebahagian yang lain perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu (manusia). Jikalau Tuhanmu menghendaki, niscaya mereka tidak mengerjakannya. Maka tinggalkanlah mereka dan apa yang mereka ada-adakan”.(QS. Al-An’aam: 112)

Inilah sebuah unek-unek yang mengganjal hati seorang pencinta ummat. Semoga kalimat yang ringkas ini menjadi teguran, dan peringatan bagi semua pihak agar bisa mengentaskan ummat yang berada dalam keterpurukan akhlaq dan agama menuju pangkuan Islam yang penuh kesucian. Nas’alullahal afiyah was salamah wa anyahdiyanaa ilaa sawaa’is sabil.

Sumber : Buletin Jum’at At-Tauhid edisi 120 Tahun II. Penerbit : Pustaka Ibnu Abbas. Alamat : Pesantren Tanwirus Sunnah, Jl. Bonto Te’ne No. 58, Kel. Borong Loe, Kec. Bonto Marannu, Gowa-Sulsel. HP : 08124173512 (a/n Ust. Abu Fa’izah). Pimpinan Redaksi/Penanggung Jawab : Ust. Abu Fa’izah Abdul Qadir Al Atsary, Lc. Dewan Redaksi : Santri Ma’had Tanwirus Sunnah – Gowa. Editor/Pengasuh : Ust. Abu Fa’izah Abdul Qadir Al Atsary, Lc. Layout : Abu Dzikro. Untuk berlangganan/pemesanan hubungi : Ilham Al-Atsary (085255974201). (infaq Rp. 200,-/exp) Sumber url: http://almakassari.com/artikel-islam/aqidah/menggugat-emansipasi.html#more-701

DIarsipkan di bawah: Abu Maulid Menulis, Akidah, Aqidah, Artikel AGAMA | Ditandai: Artikel Islam, Cadar, emansipasi, fitnah, Islam, jilbab, maksiat, mukmin, nasrani, wanita, yahudi

Senin, 11 Januari 2010

Music and Dj.



GUS DUR & MULTIKURALISME
Oleh : Ahmad syubbanuddin Alwy

Dewasa ini, masalah-masalah dasar bangsa seperti kedaulatan hukum atau kebebasan berpendapat belum dapat dikatakan tuntas atau terjamin. Bila dahulu jargon-jargon yang dipakai adalah demokrasi dan pertumbuhan ekonomi, tapi sekarang mempergunakan bendera Islam. (K.H. Abdurrahman Wahid)

KIAI Haji Abdurrahman Wahid atau Gus Dur (1940-2009) tak terbantahkan merupakan ikon, kanon, sekaligus mainstream dalam denting diskursus pluralisme dan multikulturalisme di Indonesia. Hampir seluruh perbincangan yang kelak coba menelisik kembali detail fenomena tersebut, tidak akan mampu meloloskan diri dari rangkaian pemikiran-pemikiran genuine sosok ini, baik skala mikro maupun makro. Kontekstualitas ide-ide dan gagasan yang terus dikembangkan hingga menjelang wafatnya, bertolak dari kefasihan mengafirmasi kebhinnekatunggalikaan dalam bingkai negara-bangsa.

Kata demokrasi, toleransi, advokasi, solidaritas, egaliter, inklusif, populis, pluralisme, di antara beberapa password dari mata rantai dan bunga rampai deskripsi pemikiran-pemikirannya kemudian dipertautkan dengan ide-ide kebangsaan yang bersentuhan dalam konteks luas hak-hak asasi manusia, penolakan anarkisme, penerimaan multikulturalisme, perbedaan beragama, marginalisasi kaum minoritas, kebebasan berekspresi, desakralisasi kekuasaan, dominasi kebijakan negara yang sentralistik dan depolitisasi militer. Dalam perspektif itu, Gus Dur menampik keras pembacaan dan penafsiran teks-teks agama-politik-sosial-budaya pihak manapun yang didesakkan dengan semangat hegemonik serta dikotomik. Tak terkecuali, dari dalam institusi yang menjadi bagian penting latar genealogis keluarganya.

Ide dan gagasan pemikirannya melampaui aksentuasi juga prediksi akademis, dan dengan begitu, merangkum pemikiran lain yang memperhadapkan ide-ide serta gagasan berikutnya yang berposisi sebagai counter hegemony. Bahkan dari situlah, pemikiran Gus Dur menunjukkan akurasi tertentu sesudah melewati fase-fase perdebatan serta silang pendapat publik yang bergemuruh di seberang ide maupun gagasannya-tanpa disadari, menyulut kontroversi di ranah ruang publik.

Bagi Gus Dur sendiri, tampaknya setiap gagasan dan pemikiran akan lebih memotivasi adanya gagasan atau pemikiran lain yang dikukuhkan secara berhadap-hadapan. Oleh karena itu, Gus Dur senantiasa meletakkan gagasan dan pemikirannya ditawarkan dalam format yang terkesan kontroversial dan bersifat opisisi dari arus utama pemahaman publik. Dalam banyak perspektif, ide-ide dan pemikirannya hendak menciptakan paradigma baru yang menerobos batas-batas konvensi lama yang telah tersusun sebelumnya. Dengan dinamika seorang pendobrak (al-dakhil), Gus Dur membangun arasy intelektualnya dalam berlapis instrumen basis keilmuan untuk mempertanyakan ulang, mempersoalkan sekaligus memberikan alternatif sebagai jawaban.

**

BERBAGAI gagasan dan pemikiran Gus Dur yang mendedahkan kajian-kajian dalam perspektif publik selama ini, ide-ide pluralisme agaknya menjadi satu sudut pandang dan metode berpikirnya yang berujung pada ideologi kebangsaan. Gagasan dan pemikiran apapun, dalam persepsi Gus Dur bisa dimulai dengan suatu paradigma yang dapat dikonstruksi dalam banyak dimensi. Pluralisme atau keberagaman yang menjadi bagian dari simbol-simbol global di hadapan publik, misalnya, menginspirasi kita untuk senantiasa merevisi sistem penafsiran yang berlangsung monolitik. Logika dan polarisasi berpikir Gus Dur, tampak lebih mengedepankan analisis yang tidak memandang konstruksi pemikiran keagamaan (Islam) menjadi hal yang final (fiqh minded). Akan tetapi, memeriksa kembali pengetahuan mengenai sumber-sumber dan sistem yurisprudensi Islam (ushul fiqh).

Hal itu terbaca dari paradigma Gus Dur yang melihat obyektivitas pemikiran bukan sekadar motif dan tendensi politik, melainkan konsensus ilmu pengetahuan terhadap kemungkinan yang lebih mendekati kebenaran dan cocok dengan hati nurani. Landasan berpikir itu mengukuhkan persepsinya menolak formalisme penafsiran yang merujuk pada teks-teks ajaran Islam sekaligus mempersoalkan pandangan yang bertumpu pada dalil-dalil semata, tanpa merepresentasikan unsur rasionalitas. Persepsi seperti ini juga, menyebabkan keyakinan Gus Dur memberi penghomatan penuh terhadap keyakinan dan ajaran agama-agama lain. Bahkan, sebagaimana diungkapkannya dalam pidato Perayaan Natal (27 Desember 2007) di Balai Sidang Senayan Jakarta, di tengah jemaat nasrani yang khidmat berkata; "Saya adalah seorang yang meyakini kebenaran agama saya, tetapi tidak menghalangi saya untuk merasa bersaudara dengan orang yang beragama lain di negeri ini... Sejak kecil, itu saya rasakan. Walaupun saya tinggal di lingkungan pesantren, hidup di kalangan kiai, tak pernah sedikit pun merasa berbeda dengan yang lain." (lihat: "Neraca Gus Dur di Panggung Kekuasaan", 2002:144).

Formalisme penafsiran teks-teks ajaran agama yang kaku dan normatif, tidak luput dari kritik Gus Dur. Islam sebagai rahmatan lil `alamin (rahmat untuk alam semesta), menurutnya, tidak selayaknya menegasikan dan menegatifkan keyakinan para pemeluk agama lain. Dan justru dari sanalah, Islam dengan ajaran-ajaran serta persepsi teologisnya yang memuat nilai-nilai universal. Sehingga pertikaian atau pertentangan yang disebabkan atas perbedaan ajaran dan keyakinan, dikhawatirkan mendistorsi nilai-nilai universal, pesan-pesan moral maupun ayat-ayat humanisme yang dibawa agama (Islam) itu sendiri.

Pluralisme menurut Gus Dur, menjadi niscaya dalam kehidupan sosial serta diskursus keberagamaan di negeri ini. Sehingga akan membuka lebar pintu-pintu persaudaraan kemanusiaan (ukhuwah basyariyah) dan persaudaraan kebangsaan (ukhuwah wathaniyah) bagi siapa pun-begitu juga persaudaraan sesama umat Islam (ukhuwah Islamiyah). Oleh karena itu, masalah agama, toleransi beragama dan solidaritas keberagamaan di republik dengan latar multikulturalisme yang kompleks, tanpa dibarengi sikap kosmopolit dalam menafsirkan ajaran-ajaran agama yang universal yang bertumpu pada kesalihan individual, akan mudah tersulut konflik. Beragama dengan menekankan sisi perbedaan menjadi sentral, yang menafikan faktor-faktor internal primordialitas perlahan terhunus menjadi sebentuk totaliterianisme serta pemujaan setiap kelompok etnis masyarakat secara ekstrem dan radikal.

Akibatnya, agama diindikasikan menjadi "pemantik" segenap kerusuhan dan akar kekerasan. Agama dikonstruksi sedemikian rupa untuk melegitimasi motif-motif sentimentalisme yang mengarah kepada pembenaran atas persepsi tunggal. Agama juga, dipahami sebatas sikap formal dan mencerminkan hal-hal doktrinal. Manusia sebagai makhluk multidimensional yang bertaut erat dengan kehidupan sosial sangat kompleks, tentu saja, tidak dapat mengabaikan sama sekali diskursus ilmu di dalamnya untuk memosisikan agama sebagai "pembebas" setiap individu terhadap segala bentuk kekerasan (terorisme) yang mengatasnamakan ajaran-ajaran agama.

Pada konteks ini, sebagaimana tertuang dalam "Gus Dur Menjawab Kegelisahan Rakyat" (2008:24-25); Gus Dur menjelaskan (tindakan) para teroris tidak menyadari, respons mereka bukan sesuatu yang asasi dari (ajaran) agama Islam. Setidaknya, hal tersebut bisa dilihat dalam dua masalah mendasar. Pertama, pandangan para teroris bukanlah pandangan umat Islam. Tetapi, pandangan yang digagas segelintir orang yang salah bersikap melihat aneka tantangan yang dihadapi ajaran Islam. Kedua, pandangan itu sendiri bukan pendapat kalangan mayoritas (umat Islam). Selain terjadi kesalahan paradigmatis, relasi antara agama dan kekuasaan yang diasumsikan akan menguntungkan agama. Padahal jelas, dari proses itu agama sekadar menjadi alat pengukuh dan pelestari kekuasaan. Seterusnya, agama akan kehilangan peran lebih besar sebagai pengembang kemanusiaan dan pembawa kesejahteraan.

**

GAGASAN dan pemikiran Gus Dur, meski terkesan sangat kontroversial dan fenomenal, sesungguhnya tetap berkiblat pada asas Islam yang diteguhkan menjadi mainstream. Oleh karena itu, konstruksi pemikirannya yang mendeskripsikan ide-ide pluralisme, multikulturalisme, dan nasionalisme dipertemukan melalui perspektif yang cerdas menjadi "pribumisasi Islam". Islam sebagai agama merepresentasikan sistem sosial, pandangan kebudayaan maupun etik global yang memosisikan manusia sebagai khalifah fi al-ardl dalam maknanya yang spesifik. Ijtihadnya tentang Pancasila sebagai ideologi negara, merupakan aplikasi teoretisnya yang menjadi titik perhatiannya terhadap kehidupan bernegara.

Seorang pengamat NU, Douglas E. Ramage, Ph.D. dalam "Gus Dur, NU, dan Masyarakat Sipil" (1997:104) menyatakan, peran Gus Dur yang memosisikan Pancasila sebagai prasyarat demokratisasi dan pembangunan semangat keislaman yang sehat tampaknya harus dilihat dalam perspektif neomodernisme. Suatu pandangan yang secara jelas berbeda dengan, misalnya dikotomi Islam versus Pancasila di masa konstituante. Integrasi antara kemajemukan, demokrasi, Islam, dan nasionalisme inilah yang secara intelektual dan politis melatarbelakangi upaya perubahan keikutsertaan Islam dalam diskursus politik dan ideologi Islam selama sepuluh tahun terakhir.

Dengan kata lain, pribumisasi Islam merepresentasikan tafsir dan apresiasi Gus Dur terhadap kontekstualitas Islam yang berpaut dengan berbagai khazanah lokal, penghargaan nilai-nilai tradisi, pluralisme dan multikulturalisme yang menjadi latar sosial sekaligus nalar kultural. Dengan deskripsi yang meyakinkan, Gus Dur telah mencetak blue print kebesaran Islam dan menginspirasi masyarakat Islam agar mampu beradaptasi di lingkungan masyarakat di mana kebudayaan (culture) serta peradaban (civilization) mengukuhkan sikap kreatif dan dinamis.***

* Ahmad Syubbanuddin Alwy, penyair

Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Minggu, 10 Januari 2010
Posted by Udo Z Karzi at 6:04 AM
Labels: budaya, sosok
0 comments:
Post a Comment

Newer Post Older Post Home
Subscribe to: Post Comments (Atom)