Minggu, 17 Januari 2010

SHOLAT KHUSU' SALAH KAPRAH

Pertanyaan yang sering sekali ditanyakan oleh pengunjung sufimuda kepada saya lewat email adalah bagaimana shalat bisa menjadi khusyuk, apakah kita bisa melaksanakan shalat khusyuk dan ada juga yang berpendapat bahwa hanya nabi Muhammad SAW berserta sahabat-sahabatnya dan ulama salafush shalih saja yang benar-benar bisa melaksanakan shalat dengan khusyuk selain dari mereka tidak ada yang bisa melaksanakan shalat khusyuk.

Terhadap pendapat terakhir saya kurang setuju karena kalau memang cuma Nabi dan para sahabat yang bisa shalat khusyuk maka hampir semua orang dimuka bumi ini akan masuk neraka wail, dengan demikian fungsi Al-Qur’an dan hadist sia-sia, juga peran ulama sebagai penyambung dakwah dan sebagai pewaris ilmu nabi juga tidak akan berguna sama sekali.

Khusyuk menurut Guru Ngaji Saya

Saya masih ingat ketika masih kelas 1 SMP waktu itu masih berumur 12 tahun, saya diajarkan cara shalat khusyuk oleh guru ngaji. Beliau mengatakan untuk bisa mencapai shalat khusyuk kita harus mengetahui makna dari ayat-ayat yang dibaca dalam shalat, kemudian harus kita hayati dalam hati. Antara ucapan dan gerak badan harus selaras, mengucapkan harus benar-benar masuk kedalam hati bukan hanya di bibir saja. Kemudian Beliau memberikan tanda-tanda shalat kita itu sudah khusyuk. Ketika mata kita menatap ke sajadah perhatikan dalam-dalam, nanti akan ada bayangan bulat samara-samar, saat itulah shalat kita menjadi khusyuk.

Saya meyakini apa yang diajarkan oleh guru ngaji saya, saat muncul bayangan bulat itu saya sangat senang karena saya yakin sekali kalau shalat saya sudah mencapai tahap khusyuk dan ketika bayangan itu tidak muncul maka saya jadi sedih. Saya yakin sekali apa yang diajarkan oleh guru ngaji, karena beliau adalah alumni salah satu pasantren terkenal di daerah saya.

Metode shalat khusyuk yang disampaikan oleh ustad saya itu tidak ada bedanya dengan metode pelatihan shalat khusyuk yang disampaikan oleh ustad Abu Sangkan. Setiap sore saya menyempatkan diri untuk menonton acara di Metro TV tentang pelatihan shalat khusyuk yang dibawakan oleh ustad Abu Sangkan.

Seperti juga guru ngaji saya dulu, Abu Sangkan berkeyakinan bahwa shalat khusyuk itu identik dengan ketenangan dan hilangnya kesadaran. Abu Sangkan mengatakan bahwa ketika bertakbiratul ihram kita harus membuang ingatan kita terhadap apapun. “Tidak ada Guru Mursyid, tidak ada Syekh Tarikat dan tidak ada zikir yang ada hanyalah Allah semata-mata”. Persis sekali yang diajarkan oleh guru ngaji saya, cuma Abu sangkan menyampaikannya lebih lengkap disertai dengan kajian-kajian ilmiah. Apa memang demikian shalat khusyuk?

Shalat khusyuk bukanlah mengosongkan pikiran seperti dalam meditasi yoga, karena kalau kita memaksakan pikiran untuk kosong pada saat itulah timbul nafsu kita dan syetan sangat halus dan sangat lihai untuk menyusup di alam bawah sadar kita. Sama juga orang yang mencapai shalat khusyuk lewat alat-alat elektronik, mendengarkan lagu yang dibuat khusus agar kerja otak menjadi berimbang antara kiri dan kanan. Cara seperti ini memang akan mencapai ketenangan akan tetapi kita juga harus pertanyakan lagi apakah memang ketenangan seperti itu yang dinamakan khusyuk, dan apakah memang demikian yang dikehendaki oleh Allah SWT?

Khusyuk di atas dengan berbagai jenis pelatihan bagaimanapun masih pada tataran akal dan kita merasa khusyuk menurut sendiri. Ustad Abu Sangkan menulis buku dengan judul “Spiritual Salah Kaprah” untuk mengkritik ESQ, pelatihan lewat musik untuk menstimulasi otak yang bersifat instant dan kita tidak pernah bisa mencapai kesempurnaan spiritual yang dilakukan oleh kaum sufi, demikian pendapat Abu Sangkan.

Menurut saya pelatihan shalat khusyuk yang diperkenalkan oleh Abu Sangkan juga masih dalam tataran otak dan pemikiran, karena menafikan sama sekali fungsi Mursyid dan sudah pasti yang di dapat bukan Nur Allah akan tetapi ketenangan yang tidak tahu berasal dari unsur apa. Berbicara masalah rasa (tenang, damai, dll) itu masih bersifat sangat subjektif. Maka saya menyebutkan pelatihan khusyuk ala Abu Sangkan sebagai Shalat Khusyuk Salah Kaprah.



Khusyuk Menurut Sufi

Menurut golongan sufi, khusyuk itu bukan tidak mengingat sesuatu, akan tetapi seseorang dikatakan khusyuk apabila dia terus menerus bisa memandang wajah Allah SWT. Kalau kita ingin menghilangkan pikiran terhadap hal-hal yang bersifat kebendaan bukan berarti kita mengosongkan pikiran sama sekali karena di dunia ini tidak ada yang kosong. Setiap yang kosong itu mesti di isi oleh dua unsur; Haq atau Bathil.

Shalat khusyuk adalah kondisi dimana sang hamba bisa berdialog dengan Tuhannya di alam rabbani, maka disebutkan “Shalat itu adalah Mi’raj bagi orang mukmin”. Pada saat shalat maka rohani kita akan terangkat ke Alam Rabbani, alam yang ada hanya Allah SWT.

Mengingat wajah Muryid dalam shalat bagi seorang pemula jauh lebih terbimbing sebelum seseorang mencapai maqam makrifat dari pada mengosongkan fikiran yang justru sangat mudah disusupi oleh syetan tanpa kita sadari. Wajah Guru Mursyid yang kamil mukamil dan khalis mukhlisin tidak akan bisa ditiru oleh syetan dan kalau ada syetan yang mencoba meniru wajah Mursyid akan langsung terbakar. Jangankan Guru Mursyid, photonya saja tidak akan bisa didekati oleh jin dan sejenisnya termasuk para dukun yang menyembah jin. Kalau seorang Guru Muryid belum mencapai tahap itu berarti kadar dan keotentikan kemursyidannya perlu dipertanyakan lagi.

Kunci pertama untuk bisa mencapai shalat khusyuk adalah Makrifatulllah, mengetahui hakikat Allah sehingga selalu bisa berdialog dalam shalat. Tanpa mencapai tahap makrifat bagaimanapun canggihnya pelatihan shalat tidak akan mencapai shalat khusyuk yang sesungguhnya karena dalam hati masih bersemayang dan berbisik-bisik syetan yang sangat berbahaya seperti yang disebutkan dalam surat An-Naas.

Bagi pengamal Tarikat, bermakrifat kepada mursyid merupakan awal dari tercapainya shalat khusyuk karena sesungguhnya makrifat kepada Mursyid adalah awal dari makrifat kepada Allah. Daripada anda mengeluarkan biaya yang banyak untuk pelatihan shalat khusyuk dan belum tentu mencapai alam Tuhan lebih baik anda berbaiat kepada salah seorang Guru Muryid yang akan membimbing anda kehadirat Allah SWT. Pelatihan shalat khusyuk mungkin diperlukan oleh orang-orang yang tidak menekuni Tarikatullah agar shalatnya lebih tenang. Pelatihan ini tidak diperlukan sama sekali bagi orang yang telah mempunyai Guru Mursyid apalagi yang telah mencapai tahap makrifat. Apabila anda telah bermakrifat (berjumpa) dengan Allah SWT masih perlukah anda berlatih shalat khusyuk?

Berlatih sopan santun tata cara menghadap Raja hanya diperlukan bagi orang yang akan berjumpa dengan Raja, pelatihan itu tidak diperlukan lagi bagi orang yang telah duduk bercengkerama bersama Raja, karena segala aturan terserah kepada Raja. Mengatur tutur kata berbicara dengan Raja diperlukan oleh orang yang akan menjumpai raja dan tidak akan diperlukan oleh orang yang berulangkali berjumpa dengan raja, karena segala dialog itu terserah kepada kehendak Raja.

Semoga Maharaja Manusia akan selalu memberikan kita kesempatan kepada kita untuk terus bisa singgah di istana-Nya, menikmati perjamuan-Nya dan bisa melayani tamu-Nya. Amien ya Rabbal ‘Alamin



DIarsipkan di bawah: Tasauf | Ditandai: Shalat

Kamis, 14 Januari 2010

EMANSIPASI WANITA

Menggugat Emansipasi

Musuh-musuh Islam dari abad ke abad telah berusaha merusak akhlaq ummat Islam, sebab jika mereka berhasil merusak akhlaq ummat, maka mereka akan mudah merusak aqidah ummat. Mereka selalu membuat opini dan gambaran bahwa mereka (walaupun durhaka & kafir) adalah orang-orang maju. Sedang kaum muslimin yang berpegang teguh dengan ajarannya adalah orang-orang terbelakang dan marginal (pinggiran)!!

Musuh-musuh Islam –utamanya Yahudi & Nasrani- selalu mencari jalan untuk menjauhkan ummat dari agamanya sampai akhirnya kafir alias murtad. Allah berfirman saat membongkar dan menampakkan isi hati mereka di dalam Al-Qur’an,

“Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah: “Sesungguhnya petunjuk Allah, itulah petunjuk (yang benar)”. Dan Sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, Maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu”. (QS. Al-Baqoroh : 120)

Diantara obyek yang paling mereka perangi adalah kaum wanita. Mereka paham bahwa jika wanita rusak, maka kaum lelaki akan terpengaruh. Sebab wanita adalah fitnah (pengaruh) dahsyat dalam menyeret kaum lelaki dalam kemaksiatan dan penyimpangan. Inilah yang disinyalir oleh Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- dalam sabdanya,

إِنَّ الدُّنْيَا حُلْوَةٌ خَضِرَةٌ وَإِنَّ اللَّهَ مُسْتَخْلِفُكُمْ فِيهَا فَيَنْظُرُ كَيْفَ تَعْمَلُونَ فَاتَّقُوا الدُّنْيَا وَاتَّقُوا النِّسَاءَ فَإِنَّ أَوَّلَ فِتْنَةِ بَنِي إِسْرَائِيلَ كَانَتْ فِي النِّسَاءِ

“Sesungguhnya dunia itu manis lagi hijau. Sesungguhnya Allah menjadikan kalian sebagai kholifah di atasnya, lalu Dia akan melihat bagaimana kalian berbuat. Lantaran itu, waspadailah dunia, dan waspadailah wanita, sebab awal fitnah (masalah) di kalangan Bani Isra’il adalah pada wanita”. [HR. Muslim dalam Adz-Dzikr wa As-Du'a' (no.6883)]

Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- bersabda,

مَا تَرَكْتُ بَعْدِي فِتْنَةً أَضَرَّ عَلَى الرِّجَالِ مِنْ النِّسَاءِ

“Aku tidak meninggalkan fitnah (masalah) yang lebih besar atas kaum lelaki setelahku dibandingkan wanita”. [HR. Al-Bukhoriy dalam An-Nikah (no. 5096), dan Muslim dalam Adz-Dzikr wa Ad-Du'a' (no. 7880 & 6881)]

Ahli Hadits Negeri India, Al-Imam Al-Mubarofuriy -rahimahullah- berkata dalam menjelaskan sebab yang menjadikan wanita sebagai fitnah (ujian) terbesar bagi kaum laki-laki, “Sebab tabiat manusia seringnya condong kepada wanita, dan manusia terjerumus ke dalam perkara yang haram gara-gara wanita. Manusia melakukan perang dan permusuhan karena wanita. Minimalnya wanita mendorong seseorang untuk cinta dunia. Nah, kerusakan apakah yang lebih berbahaya daripada ini (cinta dunia)?” [Lihat Tuhfah Al-Ahwadziy (7/89)]

Wanita adalah ujian terbesar bagi kaum lelaki sehingga telah tercatat dalam sejarah bahwa sebagian masalah yang timbul karena berawal dari wanita, seperti perang kabilah, perang antar negara, putusnya hubungan antara seorang dengan orang lain, karena wanita. Tersebarnya kebiasaan-kebiasaan keji (zina), karena pengaruh wanita. Fitnah wanita di zaman ini semakin merajalela dan menjadi-jadi dengan adanya emansipasi dalam segala lini dan sudut kehidupan. Para wanita telah keluar dari rumah kemuliaan dan kesuciannya dengan penuh gejolak keluar menuju jurang kehancuran dan kenistaan, sehingga kita tak akan menemukan sebuah kantor, kecuali diisi oleh wanita. Kita tak akan menemukan suatu lapangan pekerjaan, selain berderet di dalamnya wanita-wanita yang tak punya malu sampai kita akan tertawa dengan sinis diiringi oleh kesedihan ketika melihat para wanita kita menjadi pajangan untuk memuaskan syahwat terlaknat kaum lelaki; menjadi penarik etalase dan jualan; menjadi bulan-bulanan oleh para lelaki berhidung belang; menjadi pemain bola dan pesilat, bahkan jadi pegulat!!? Panti-panti pijat dan panti maksiat lainnya pun tak lepas dari wanita yang menjadi obyek. Sungguh memalukan nasib kaum wanita di zaman emansipasi ini.

Dahulu wanita menjadi manusia terhormat dan terjaga di dalam Islam, yakni di zaman Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam-, para sahabat, tabi’in, tabi’ut-tabi’in dan seterusnya. Lihatlah bagaimana Allah memuliakan para wanita dengan syari’at jilbab dan cadar dalam firman-Nya,

“Hai nabi, Katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka”. yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, Karena itu mereka tidak di ganggu. dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (QS. Al-Ahzab : 59)

“Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang jahiliyah yang dahulu”. (QS. Al-Ahzab : 33)

Para wanita mukminah diperintahkan agar tetap di rumah; Wanita keluar rumah bila ada keperluan yang dibenarkan oleh syara’. Demikianlah demi menjaga kesucian dan kehormatan seorang wanita, bukan sebagai kungkungan dan pemenjaraan sebagaimana yang digambarkan dan disebarkan oleh orang-orang munafiq di zaman ini. Wanita-wanita mukminah harus bersabar dalam melazimi rumahnya demi memelihara kesucian, dan sifat malunya. Mereka pun jika keluar karena ada hajat mendesak, maka mereka keluar dengan adab dan akhlaq Islam, yakni tetap menggunakan hijab dan jilbab syar’iy yang menutupi seluruh tubuhnya. Jilbab ini sifatnya longgar (tidak ketat), dan tebal (tidak transrapan atau tipis), tidak mengundang perhatian kaum lelaki, dan tidak menyerupai pakaian wanita-wanita kafir atau kaum laki-laki. Inilah tips yang harus dilakukan oleh para wanita muslimah untuk membentengi dirinya dari serangan dan permainan orang-orang kafir. Seorang wanita harus memakai jilbab seperti ini. Jika tidak, maka ia akan tergolong wanita yang ber-tabarruj (bersolek) ala jahiliah.

Perhatian: Sebagian wanita-wanita muslimah hari ini banyak memakai jilbab. Hanya disayangkan bahwa mereka tidak memakai jilbab syar’iy. Kebanyakan mereka memakai jilbab moderen yang pendek, lalu dipasangkan dengan pakaian ketat dan celana. Ini bukanlah jilbab syar’iy yang dianjurkan oleh agama, bahkan cara berpakaian seperti itu tercela. Inilah yang diistilahkan oleh Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- dengan “berpakaian, tapi telanjang”. JILBAB SYAR’IY ialah sejenis jilbab besar lagi panjang dan lapang, dapat menutup kepala, muka dan dada hingga terseret ke tanah. Lalu di bawahnya ada jilbab kecil, dan pakaian gamis panjang hingga menutupi kaki. Inilah jilbab syar’iy yang ditinggalkan oleh para wanita muslimah, kecuali yang dirahmati Allah -Azza wa Jalla-. Memang asing, tapi itulah yang syar’iy!!

Para pembaca yang budiman, Jika seorang wanita keluar dari peraduannya, lalu keluar mencari pekerjaan, padahal masih ada yang menanggung hidup dan hajatnya, maka disinilah setan akan memulai makar dan aksinya. Jabir -radhiyallahu anhu- berkata,

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَأَى امْرَأَةً فَأَتَى امْرَأَتَهُ زَيْنَبَ وَهِيَ تَمْعَسُ مَنِيئَةً لَهَا فَقَضَى حَاجَتَهُ ثُمَّ خَرَجَ إِلَى أَصْحَابِهِ فَقَالَ إِنَّ الْمَرْأَةَ تُقْبِلُ فِي صُورَةِ شَيْطَانٍ وَتُدْبِرُ فِي صُورَةِ شَيْطَانٍ فَإِذَا أَبْصَرَ أَحَدُكُمْ امْرَأَةً فَلْيَأْتِ أَهْلَهُ فَإِنَّ ذَلِكَ يَرُدُّ مَا فِي نَفْسِهِ

“Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- pernah melihat seorang wanita, lalu beliau mendatangi istrinya, Zainab sedang ia menyamak kulit miliknya. Beliau menyelesaikan hajatnya (berjimak), lalu keluar menuju para sahabatnya seraya bersabda,”Sesungguhnya wanita datang dalam rupa setan, dan pergi dalam rupa setan. Jika seorang diantara kalian melihat seorang wanita yang mengagumkan (tanpa sengaja, pent.), maka hendaknya ia mendatangi (berjimak dengan) istrinya, karena hal itu akan menolak sesuatu (berupa syahwat) yang terdapat pada dirinya”. [HR. Muslim (no.3393), Abu Dawud (no.2151), dan At-Tirmidziy (no.1158)]

Al-Imam Syamsul Haqq Al-Azhim Abadiy -rahimahullah- berkata menjelaskan dan meluruskan pemahaman tentang hadits ini, “Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- menyerupakan wanita dengan setan dalam sifat waswasah (memberikan bisikan), dan menggelincirkan orang, karena melihat wanita dari segala sisi adalah pengundang menuju kerusakan”. [Lihat Aunul Ma'bud Syarh Sunan Abi Dawud (6/148-149), cet. Darul Fikr, 1415 H]

Seorang ulama’ Syafi’iyyah, Al-Imam An-Nawawiy -rahimahullah- berkata, “Para ulama berkata, “Jadi, wanita itu serupa dengan setan dalam mengajak kepada kejelekan dengan bisikan dan penghias-hiasannya terhadap kejelekan. Diambil sebuah hukum dari hadits ini bahwa sepantasnya bagi seorang wanita agar jangan keluar diantara kaum lelaki, kecuali ada hajat mendesak, dan bahwa seyogyanya kaum lelaki menundukkan pandangan dari melihat pakaiannya, dan memalingkan pandangan darinya secara mutlak”. [Lihat Syarh Shohih Muslim (9/181)]

Demikianlah para wanita di zaman Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam-. Mereka dimuliakan oleh Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- dan para sahabatnya. Mereka menganjurkan para wanita agar tetap berada di rumahnya dalam beraktifitas demi menjaga kesucian dirinya. Beliau tidaklah memerintahkan para wanita keluar dan bekerja di luar rumah, kecuali ada hajat mendesak. Sebab keluarnya para wanita untuk bekerja di sekitar kaum lelaki akan menimbulkan berbagai macam problema sebagaimana yang kita saksikan hari ini. Munculnya berbagai macam pelanggaran sosial berupa prostitusi, selingkuh, zina, pacaran, hubungan gelap, keretakan rumah tangga, pembunuhan, peperangan, permusuhan, dan sederet kemaksiatan. Seringnya dilatari karena problema yang berkaitan dengan wanita. Banyaknya pengangguran di kalangan kaum lelaki yang pada gilirannya menyebabkan banyaknya wanita-wanita menjadi perawan tua, dan lelaki dewasa yang melajang, karena lapangan pekerjaannya “direbut” oleh kaum wanita. Akibatnya kaum lelaki yang tipis agama memilih pintu belakang yang tidak syar’iy alias haram!! Sebaliknya kaum wanita hidup melajang, tanpa pelindung dan penghibur baginya. Ketika itulah wanita hanya bisa gigit jari dan melamun menunggu sang dambaan tak kunjung datang, karena kantong lagi kering alias miskin akibat sempitnya lapangan pekerjaan yang diisi oleh para wanita yang berseliweran bagaikan semut mengelilingi gula. Nas’alullahal afiyah was salamah min fitnatin nisaa’.

Dahulu para wanita kita berhias dengan sifat malu. Namun kini tinggal kenangan saja sejak mereka tertipu dengan propaganda emansipasi yang menghasung mereka untuk keluar dari rumah demi mencari kerja, demi menyaingi kaum lelaki yang selama ini menurut sangkaan mereka yang dusta bahwa kaum lelaki telah melakukan monopoli, menzhalimi hak kaum wanita, wanita dikerangkeng dan diborgol, dan berbagai macam propaganda dan panah kedustaan yang diarahkan kepada Islam yang seakan mengajari ummatnya untuk menzhalimi kaum wanita. Padahal tidaklah demikian, bahkan Islam menjunjung tinggi hak para wanita.

Derajat mereka amat tinggi dalam Islam. Kini sejak mereka meninggalkan petunjuk agamanya, para wanita muslimah turun ke derajat paling rendah. Kini dipermainkan kehormatannya, dan dijadikan barang murahan dengan iming-iming maya dan pujian semu lagi menipu. Kondisi paling jorok dan hina dalam sejarah kaum feminis, kaum wanita dijadikan “bintang” (baca: binatang) dalam TV, majalah, koran atau tabloid dengan penampilan buka-bukaan dan memancing birahi hewani. Mereka bangga dengan kehinaan dan kejorokan seperti ini. Maka maraklah kegiatan setan yang disebut dengan “PORNO AKSI” dan “PORNOGRAFI”. Lebih bejat lagi, ada sebagian orang yang berotak comberan berusaha melegitimasi dan mendukung program bejat itu dengan berbagai macam dalih dan wangsit setan ketika ada yang mengingkarinya. Na’udzu billah minasya syaithon wa junudih.

Itulah realita yang terjadi di negeri kita; ada sekelompok manusia mengusung dan memperjuangkan emansipasi zhalim tersebut demi merusak ummat Islam. Mereka mewahyukannya kepada teman-teman, dan bala tentara mereka untuk memusuhi petunjuk para nabi. Allah -Ta’ala- berfirman,

“Dan demikianlah kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu syaitan-syaitan (dari jenis) manusia dan (dan jenis) jin, sebahagian mereka mewahyukan (membisikkan) kepada sebahagian yang lain perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu (manusia). Jikalau Tuhanmu menghendaki, niscaya mereka tidak mengerjakannya. Maka tinggalkanlah mereka dan apa yang mereka ada-adakan”.(QS. Al-An’aam: 112)

Inilah sebuah unek-unek yang mengganjal hati seorang pencinta ummat. Semoga kalimat yang ringkas ini menjadi teguran, dan peringatan bagi semua pihak agar bisa mengentaskan ummat yang berada dalam keterpurukan akhlaq dan agama menuju pangkuan Islam yang penuh kesucian. Nas’alullahal afiyah was salamah wa anyahdiyanaa ilaa sawaa’is sabil.

Sumber : Buletin Jum’at At-Tauhid edisi 120 Tahun II. Penerbit : Pustaka Ibnu Abbas. Alamat : Pesantren Tanwirus Sunnah, Jl. Bonto Te’ne No. 58, Kel. Borong Loe, Kec. Bonto Marannu, Gowa-Sulsel. HP : 08124173512 (a/n Ust. Abu Fa’izah). Pimpinan Redaksi/Penanggung Jawab : Ust. Abu Fa’izah Abdul Qadir Al Atsary, Lc. Dewan Redaksi : Santri Ma’had Tanwirus Sunnah – Gowa. Editor/Pengasuh : Ust. Abu Fa’izah Abdul Qadir Al Atsary, Lc. Layout : Abu Dzikro. Untuk berlangganan/pemesanan hubungi : Ilham Al-Atsary (085255974201). (infaq Rp. 200,-/exp) Sumber url: http://almakassari.com/artikel-islam/aqidah/menggugat-emansipasi.html#more-701

DIarsipkan di bawah: Abu Maulid Menulis, Akidah, Aqidah, Artikel AGAMA | Ditandai: Artikel Islam, Cadar, emansipasi, fitnah, Islam, jilbab, maksiat, mukmin, nasrani, wanita, yahudi

Senin, 11 Januari 2010

Music and Dj.



GUS DUR & MULTIKURALISME
Oleh : Ahmad syubbanuddin Alwy

Dewasa ini, masalah-masalah dasar bangsa seperti kedaulatan hukum atau kebebasan berpendapat belum dapat dikatakan tuntas atau terjamin. Bila dahulu jargon-jargon yang dipakai adalah demokrasi dan pertumbuhan ekonomi, tapi sekarang mempergunakan bendera Islam. (K.H. Abdurrahman Wahid)

KIAI Haji Abdurrahman Wahid atau Gus Dur (1940-2009) tak terbantahkan merupakan ikon, kanon, sekaligus mainstream dalam denting diskursus pluralisme dan multikulturalisme di Indonesia. Hampir seluruh perbincangan yang kelak coba menelisik kembali detail fenomena tersebut, tidak akan mampu meloloskan diri dari rangkaian pemikiran-pemikiran genuine sosok ini, baik skala mikro maupun makro. Kontekstualitas ide-ide dan gagasan yang terus dikembangkan hingga menjelang wafatnya, bertolak dari kefasihan mengafirmasi kebhinnekatunggalikaan dalam bingkai negara-bangsa.

Kata demokrasi, toleransi, advokasi, solidaritas, egaliter, inklusif, populis, pluralisme, di antara beberapa password dari mata rantai dan bunga rampai deskripsi pemikiran-pemikirannya kemudian dipertautkan dengan ide-ide kebangsaan yang bersentuhan dalam konteks luas hak-hak asasi manusia, penolakan anarkisme, penerimaan multikulturalisme, perbedaan beragama, marginalisasi kaum minoritas, kebebasan berekspresi, desakralisasi kekuasaan, dominasi kebijakan negara yang sentralistik dan depolitisasi militer. Dalam perspektif itu, Gus Dur menampik keras pembacaan dan penafsiran teks-teks agama-politik-sosial-budaya pihak manapun yang didesakkan dengan semangat hegemonik serta dikotomik. Tak terkecuali, dari dalam institusi yang menjadi bagian penting latar genealogis keluarganya.

Ide dan gagasan pemikirannya melampaui aksentuasi juga prediksi akademis, dan dengan begitu, merangkum pemikiran lain yang memperhadapkan ide-ide serta gagasan berikutnya yang berposisi sebagai counter hegemony. Bahkan dari situlah, pemikiran Gus Dur menunjukkan akurasi tertentu sesudah melewati fase-fase perdebatan serta silang pendapat publik yang bergemuruh di seberang ide maupun gagasannya-tanpa disadari, menyulut kontroversi di ranah ruang publik.

Bagi Gus Dur sendiri, tampaknya setiap gagasan dan pemikiran akan lebih memotivasi adanya gagasan atau pemikiran lain yang dikukuhkan secara berhadap-hadapan. Oleh karena itu, Gus Dur senantiasa meletakkan gagasan dan pemikirannya ditawarkan dalam format yang terkesan kontroversial dan bersifat opisisi dari arus utama pemahaman publik. Dalam banyak perspektif, ide-ide dan pemikirannya hendak menciptakan paradigma baru yang menerobos batas-batas konvensi lama yang telah tersusun sebelumnya. Dengan dinamika seorang pendobrak (al-dakhil), Gus Dur membangun arasy intelektualnya dalam berlapis instrumen basis keilmuan untuk mempertanyakan ulang, mempersoalkan sekaligus memberikan alternatif sebagai jawaban.

**

BERBAGAI gagasan dan pemikiran Gus Dur yang mendedahkan kajian-kajian dalam perspektif publik selama ini, ide-ide pluralisme agaknya menjadi satu sudut pandang dan metode berpikirnya yang berujung pada ideologi kebangsaan. Gagasan dan pemikiran apapun, dalam persepsi Gus Dur bisa dimulai dengan suatu paradigma yang dapat dikonstruksi dalam banyak dimensi. Pluralisme atau keberagaman yang menjadi bagian dari simbol-simbol global di hadapan publik, misalnya, menginspirasi kita untuk senantiasa merevisi sistem penafsiran yang berlangsung monolitik. Logika dan polarisasi berpikir Gus Dur, tampak lebih mengedepankan analisis yang tidak memandang konstruksi pemikiran keagamaan (Islam) menjadi hal yang final (fiqh minded). Akan tetapi, memeriksa kembali pengetahuan mengenai sumber-sumber dan sistem yurisprudensi Islam (ushul fiqh).

Hal itu terbaca dari paradigma Gus Dur yang melihat obyektivitas pemikiran bukan sekadar motif dan tendensi politik, melainkan konsensus ilmu pengetahuan terhadap kemungkinan yang lebih mendekati kebenaran dan cocok dengan hati nurani. Landasan berpikir itu mengukuhkan persepsinya menolak formalisme penafsiran yang merujuk pada teks-teks ajaran Islam sekaligus mempersoalkan pandangan yang bertumpu pada dalil-dalil semata, tanpa merepresentasikan unsur rasionalitas. Persepsi seperti ini juga, menyebabkan keyakinan Gus Dur memberi penghomatan penuh terhadap keyakinan dan ajaran agama-agama lain. Bahkan, sebagaimana diungkapkannya dalam pidato Perayaan Natal (27 Desember 2007) di Balai Sidang Senayan Jakarta, di tengah jemaat nasrani yang khidmat berkata; "Saya adalah seorang yang meyakini kebenaran agama saya, tetapi tidak menghalangi saya untuk merasa bersaudara dengan orang yang beragama lain di negeri ini... Sejak kecil, itu saya rasakan. Walaupun saya tinggal di lingkungan pesantren, hidup di kalangan kiai, tak pernah sedikit pun merasa berbeda dengan yang lain." (lihat: "Neraca Gus Dur di Panggung Kekuasaan", 2002:144).

Formalisme penafsiran teks-teks ajaran agama yang kaku dan normatif, tidak luput dari kritik Gus Dur. Islam sebagai rahmatan lil `alamin (rahmat untuk alam semesta), menurutnya, tidak selayaknya menegasikan dan menegatifkan keyakinan para pemeluk agama lain. Dan justru dari sanalah, Islam dengan ajaran-ajaran serta persepsi teologisnya yang memuat nilai-nilai universal. Sehingga pertikaian atau pertentangan yang disebabkan atas perbedaan ajaran dan keyakinan, dikhawatirkan mendistorsi nilai-nilai universal, pesan-pesan moral maupun ayat-ayat humanisme yang dibawa agama (Islam) itu sendiri.

Pluralisme menurut Gus Dur, menjadi niscaya dalam kehidupan sosial serta diskursus keberagamaan di negeri ini. Sehingga akan membuka lebar pintu-pintu persaudaraan kemanusiaan (ukhuwah basyariyah) dan persaudaraan kebangsaan (ukhuwah wathaniyah) bagi siapa pun-begitu juga persaudaraan sesama umat Islam (ukhuwah Islamiyah). Oleh karena itu, masalah agama, toleransi beragama dan solidaritas keberagamaan di republik dengan latar multikulturalisme yang kompleks, tanpa dibarengi sikap kosmopolit dalam menafsirkan ajaran-ajaran agama yang universal yang bertumpu pada kesalihan individual, akan mudah tersulut konflik. Beragama dengan menekankan sisi perbedaan menjadi sentral, yang menafikan faktor-faktor internal primordialitas perlahan terhunus menjadi sebentuk totaliterianisme serta pemujaan setiap kelompok etnis masyarakat secara ekstrem dan radikal.

Akibatnya, agama diindikasikan menjadi "pemantik" segenap kerusuhan dan akar kekerasan. Agama dikonstruksi sedemikian rupa untuk melegitimasi motif-motif sentimentalisme yang mengarah kepada pembenaran atas persepsi tunggal. Agama juga, dipahami sebatas sikap formal dan mencerminkan hal-hal doktrinal. Manusia sebagai makhluk multidimensional yang bertaut erat dengan kehidupan sosial sangat kompleks, tentu saja, tidak dapat mengabaikan sama sekali diskursus ilmu di dalamnya untuk memosisikan agama sebagai "pembebas" setiap individu terhadap segala bentuk kekerasan (terorisme) yang mengatasnamakan ajaran-ajaran agama.

Pada konteks ini, sebagaimana tertuang dalam "Gus Dur Menjawab Kegelisahan Rakyat" (2008:24-25); Gus Dur menjelaskan (tindakan) para teroris tidak menyadari, respons mereka bukan sesuatu yang asasi dari (ajaran) agama Islam. Setidaknya, hal tersebut bisa dilihat dalam dua masalah mendasar. Pertama, pandangan para teroris bukanlah pandangan umat Islam. Tetapi, pandangan yang digagas segelintir orang yang salah bersikap melihat aneka tantangan yang dihadapi ajaran Islam. Kedua, pandangan itu sendiri bukan pendapat kalangan mayoritas (umat Islam). Selain terjadi kesalahan paradigmatis, relasi antara agama dan kekuasaan yang diasumsikan akan menguntungkan agama. Padahal jelas, dari proses itu agama sekadar menjadi alat pengukuh dan pelestari kekuasaan. Seterusnya, agama akan kehilangan peran lebih besar sebagai pengembang kemanusiaan dan pembawa kesejahteraan.

**

GAGASAN dan pemikiran Gus Dur, meski terkesan sangat kontroversial dan fenomenal, sesungguhnya tetap berkiblat pada asas Islam yang diteguhkan menjadi mainstream. Oleh karena itu, konstruksi pemikirannya yang mendeskripsikan ide-ide pluralisme, multikulturalisme, dan nasionalisme dipertemukan melalui perspektif yang cerdas menjadi "pribumisasi Islam". Islam sebagai agama merepresentasikan sistem sosial, pandangan kebudayaan maupun etik global yang memosisikan manusia sebagai khalifah fi al-ardl dalam maknanya yang spesifik. Ijtihadnya tentang Pancasila sebagai ideologi negara, merupakan aplikasi teoretisnya yang menjadi titik perhatiannya terhadap kehidupan bernegara.

Seorang pengamat NU, Douglas E. Ramage, Ph.D. dalam "Gus Dur, NU, dan Masyarakat Sipil" (1997:104) menyatakan, peran Gus Dur yang memosisikan Pancasila sebagai prasyarat demokratisasi dan pembangunan semangat keislaman yang sehat tampaknya harus dilihat dalam perspektif neomodernisme. Suatu pandangan yang secara jelas berbeda dengan, misalnya dikotomi Islam versus Pancasila di masa konstituante. Integrasi antara kemajemukan, demokrasi, Islam, dan nasionalisme inilah yang secara intelektual dan politis melatarbelakangi upaya perubahan keikutsertaan Islam dalam diskursus politik dan ideologi Islam selama sepuluh tahun terakhir.

Dengan kata lain, pribumisasi Islam merepresentasikan tafsir dan apresiasi Gus Dur terhadap kontekstualitas Islam yang berpaut dengan berbagai khazanah lokal, penghargaan nilai-nilai tradisi, pluralisme dan multikulturalisme yang menjadi latar sosial sekaligus nalar kultural. Dengan deskripsi yang meyakinkan, Gus Dur telah mencetak blue print kebesaran Islam dan menginspirasi masyarakat Islam agar mampu beradaptasi di lingkungan masyarakat di mana kebudayaan (culture) serta peradaban (civilization) mengukuhkan sikap kreatif dan dinamis.***

* Ahmad Syubbanuddin Alwy, penyair

Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Minggu, 10 Januari 2010
Posted by Udo Z Karzi at 6:04 AM
Labels: budaya, sosok
0 comments:
Post a Comment

Newer Post Older Post Home
Subscribe to: Post Comments (Atom)