Sabtu, 10 Agustus 2013
PERCERAIAN DALAM ISLAM
Sistem Masyarakat Islam dalam
Al Qur'an & Sunnah
oleh Dr. Yusuf
Qardhawi
TALAK (PERCERAIAN)
Para
Misionaris dan Orientalis dewasa ini memusatkan serangannya pada dua
permasalahan yang berkaitan dengan wanita, yaitu masalah perceraian (talak) dan
poligami. Sungguh sangat disayangkan ghazwul fikri yang disebarkan oleh mereka
itu sudah mendapat sambutan luas dari kaum Muslimin. Sehingga mereka
ikut-ikutan menganggap kedua masalah tersebut sebagai problematika rumah tangga
dan masyarakat. Padahal sesungguhnya Islam tidak mensyari'atkan kedua masalah
tersebut kecuali untuk menyelesaikan problematika yang cukup banyak dalam
kehidupan lelaki, wanita, rumah tangga dan masyarakat. Dan problem yang
sebenarnya adalah terletak pada kesalahfahaman terhadap syari'at Allah atau
salah dalam penerapannya. Dan segala sesuatu, apabila tidak benar dalam
penerapannya maka akan menimbulkan bahaya yang lebih besar.
Mengapa Islam Memperbolehkan Talak?
Tidak
setiap perceraian itu dibolehkan dalam Islam, karena ada talak yang dimakruhkan,
bahkan diharamkan. Karena hal itu dapat merobohkan bangunan rumah tangga yang
sangat ditekankan Islam agar kita membina dan membangunnya. Oleh karena itu
Rasulullah SAW bersabda, "Perkara halal yang paling dibenci oleh Allah
adalah perceraian." Sehingga
perceraian yang disyari'atkan oleh Islam itu mirip dengan operasi menyakitkan
yang dirasakan oleh seseorang yang menjalani sakitnya. Bahkan terkadang salah
satu anggota tubuhnya harus dipotong demi menjaga seluruh anggota tubuhnya yang
tersisa, atau karena menghindarkan bahaya yang lebih besar. Apabila sampai diputuskan untuk bercerai
antara dua pasangan dan tidak berhasil segala sarana perbaikan dan upaya
mempertemukan kembali di antara kedua belah pihak, maka perceraian dalam
keadaan seperti ini merupakan obat yang sangat pahit yang tidak ada obat yang
lainnya. Oleh karena itu dikatakan dalam pepatah, "Jika tidak mungkin
bertemu, maka ya berpisah." Al Qur'an Al Karim juga mengatakan:
"Jika keduanya bercerai, maka
Allah akan memberi kecukupan kepada masing-rnasing dari limpahan
karunia-Nya..." (An-Nisa': 130)
Apa
yang telah disyari'atkan oleh Islam, itulah yang sesuai dengan akal, hikmah dan
kemaslahatan. Karena termasuk sesuatu yang jauh dari logika akal sehat dan
fithrah, jika dipaksakan dengan kekuatan hukum suatu pabrik yang merusak dua
penanam saham yang keduanya tidak saling bertemu dan tidak saling mempercayai. Sesungguhnya memaksakan kehidupan ini
dengan kekuasaan hukum adalah siksaan yang keras. Manusia tidak tahan, karena
itu lebih buruk daripada penjara sepanjang masa. Bahkan menjadi neraka yang
kita tidak kuat menahannya. Seorang ahli hikmah mengatakan, "Sesungguhnya
bahaya yang terbesar adalah mempergauli orang yang tidak menyetujui kamu dan
tidak menentang kamu."
Mempersempit Lingkup Perceraian
Islam telah meletakkan sejumlah kaidah
(prinsip-prinsip) dan ajaran-ajaran yang seandainya manusia mau mengikuti
dengan baik dan melaksanakannya, maka sedikit sekali kita menemukan perceraian
dan niscaya semakin minim perceraian itu. Di antara prinsip-prinsip itu adalah:
1. Memilih isteri dengan baik dengan cara
memusatkan perhatian pada agama dan akhlaq sebelum harta, pangkat (jabatan) dan
kecantikan.
Rasulullah SAW bersabda:
"Wanita itu dinikahi karena empat perkara. Karena hartanya,
keturunannya, kecantikannya dan karena agama, maka beruntunglah orang yang
memperoleh wanita yang kuat agama-nya, maka tanganmu akan penuh debu (rugi)
jika tidak kamu ikuti." (HR. Muttafaqun 'Alaih)
2. Melihat wanita yang dikhitbah sebelum
terlaksananya aqad, agar memperoleh kemantapan dan kepuasan hati. Karena
melihat sejak dini itu merupakan langkah menuju kerukunan dan cinta kasih.
3. Perhatian wanita dan wali-walinya untuk
memilih suami yang mulia (baik) dan mengutamakan yang baik agama dan akhlaqnya,
sebagaimana petunjuk dalam Sunnah.
4. Disyaratkan pihak wanita harus ridha
untuk menikah dengan calon suami yang ditawarkan kepadanya. Tidak boleh ada
pemaksaan untuk menikah dengan orang yang tidak dicintainya.
5. Mendapat ridha (memperoleh persetujuan) dari
wali wanita, baik yang wajib atau sunnah.
6. Bermusyawarah dengan ibu dari calon
pengantin putri, agar pernikahan itu disetujui oleh semua pihak. Karena
Rasulullah SAW bersabda, "Ajaklah para wanita untuk bermusyawarah tentang
anak-anak wanitanya."
7. Diwajibkannya mempergauli (bergaul)
dengan baik dan melaksanakan hak-hak dan kewajiban antara suami isteri, serta
membangkitkan semangat keimanan untuk berpegang teguh pada ketentuan-ketentuan
Allah serta bertaqwa kepada Allah SWT.
8. Mendorong suami agar hidup secara realistis,
karena tidak mungkin ia menginginkan kesempurnaan mutlak pada isterinya. Tetapi
hendaknya ia melihat yang baik-baik (kebaikan-kebaikan), selain
kekurangan-kekurangannya. Jika ia tidak suka kepada suatu sikap tertentu dari
isterinya ia juga merasa senang dengan sikapnya yang lain.
9. Mengajak para suami untuk berfikir
dengan akal dan kemaslahatan. Jika ia merasa tidak suka terhadap isterinya,
maka jangan sampai ia cepat memperturuti perasaannya, dengan mengharap semoga
Allah merubah sikapnya dengan yang lebih baik. Allah berfirman:
"Dan pergaulilah mereka (isterimu) dengan baik. Kemudian bila kamu
tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai
sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak."
(An-Nisa': 19)
10. Memerintahkan kepada suami untuk
menghibur dan menasehati isterinya yang sedang nusyuz dengan bijaksana dan
bertahap. Dari lemah lembut yang tidak lemah, sampai pada yang keras namun
tidak kasar. Allah berfirman:
"Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah
mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka.
Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk
menyusahkannya. Sesunggahnnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar." (An-Nisa':
34)
11. Memerintahkan masyarakat untuk ikut
menyelesaikan ketika terjadi perselisihan antara suami isteri, yaitu dengan
membentuk "Majlis Keluarga." Majlis ini terdiri dari orang-orang yang
bisa dipercaya dari keluarga kedua belah pihak, untuk berupaya mengishlah dan
merukunkan serta memecahkan krisis yang menimpa dengan baik, Allah SWT
berfirman:
"Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka
kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam (juru damai)
dari keluarga perempuan. Jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan
perbaikan, niscaya Allah memberi taufiq kepada suami isteri itu. Sesungguhnya
Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal." (An-Nisa': 35)
Inilah beberapa ajaran Islam, yang
seandainya kaum Muslimin mau mengikutinya dan memeliharanya dengan
sungguh-sungguh maka kasus perceraian itu akan berkurang.
Kapan dan Bagaimana Perceraian itu Dilakukan?
Islam tidak mensyari'atkan talak
(perceraian) pada setiap waktu dan setiap keadaan. Sesungguhnya talak yang diperbolehkan
sesuai dengan petunjuk Al Qur'an dan As-Sunnah adalah hendaknya seseorang itu
pelan-pelan dan memilih waktu yang sesuai. Maka tidak boleh mencerai istrinya
ketika haid, dan tidak boleh pula dalam keadaan suci sedangkan ia
mempergaulinya. Jika ia melakukan hal itu maka talaknya adalah talak yang
bid'ah dan diharamkan. Bahkan sebagian fuqaha' berpendapat talaknya tidak sah,
karena dijatuhkan tidak sesuai dengan perintah Nabi SAW Rasulullah SAW
bersabda, "Barangsiapa yang melakukan perbuatan tanpa dilandasi perintah
kami maka itu tertolak (tidak diterima)."
Dan wajib bagi seseorang yang mentalak bahwa dia dalam keadaan sadar.
Apabila ia kehilangan kesadaran, terpaksa, atau dalam keadaan marah yang
menutup ingatannya sehingga ia berbicara yang tidak ia inginkan, maka menurut
pendapat yang shahih itu tidak sah. Berdasarkan hadits, "Tidak sah talak
dalam ketidaksadaran." Abu Dawud menafsirkan hadits ini dengan 'marah',
dan yang lain mengartikan karena 'terpaksa'. Kedua-duanya benar.
Dan hendaklah orang yang mencerai itu
bermaksud untuk mencerai dan berpisah dari isterinya. Adapun menjadikan talak
itu sebagai sumpah atau sekedar menakut-nakuti, maka tidak sah menurut pendapat
yang Shahih sebagaimana dikatakan oleh sebagian ulama salaf dan ditarjih oleh Al
'Allamah lbnul Qayyim dan gurunya Ibnu Taimiyah. Jika semua bentuk talak ini
tidak sah maka tetaplah talak yang diniati dan dimaksudkan yang berdasarkan
pemikiran dan yang sudah dipelajari sebelumnya. Dan ia melihat itulah satu-satu
jalan penyelesaian untuk keselamatan dari kehidupan yang ia tidak lagi mampu
bertahan. Inilah yang dikatakan Ibnu Abbas, "Sesungguhnya talak itu harena
diperlukan."
Yang Dilakukan Setelah Talak
Perceraian yang terjadi tidak harus
memutuskan hubungan suami isteri sama sekali, yang kemudian tidak ada jalan
menuju perbaikan. Karena talak seperti dijelaskan dalam Al Qur'an memberikan
bagi setiap orang yang bercerai untuk mengevaluasi dan mempelajari kembali.
Oleh karena itu talak terjadi satu kali, satu kali. Apabila kedua kalinya tidak
juga bermanfaat maka terjadilah talak ketiga yang memutuskan hubungan
selamanya, sehingga tidak halal baginya setelah itu. Maka mengumpulkan tiga
talak dalam satu ucapan itu bertentangan dengan syari at Al Qur'an. Inilah yang
dijelaskan dan diambil oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan muridnya Ibnu
Qayyim dan yang dipakai Mahkamah Syar'iyah di negara-negara Arab.
Perceraian tidak mengharamkan bagi wanita
untuk memperoleh nafkah selama masa iddah, dan tidak boleh bagi suami
mengeluarkan isterinya dari rumah. Bahkan wajib atas suami untuk membiarkan
sang istri tinggal di rumahnya dekat dengan dia, barangkali dengan begitu
kerukunan akan kembali dan hati menjadi jernih. Allah SWT berfirman:
"Kamu tidak mengetahui barangkali Allah mengadakan sesudah itu suatu
hal yang baru." (At-Thalaq: 1)
Perceraian tidak memperbolehkan bagi
seseorang untuk memakan mahar (maskawin) yang telah diberikan kepada isterinya
atau meminta kembali mahar atau segala sesuatu yang telah diberikan kepada
isterinya sebelum perceraian, Allah SWT berfirman:
"Tidak halal bagi kamu mengambil kembali dari sesuatu yang telah kamu
berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat
menjalankan hukum-hukum Allah." (Al Baqarah: 229)
Begitu pula isteri yang ditalak itu berhak memperoleh
mut'ah sebagaimana ditetapkan oleh kebiasaan. Allah SWT berfirman:
"Kepada wanita-wanita yang diceraikan (hendaklah diberikan oleh
suaminya) mut'ah menurut yang ma'ruf, sebagai suatu kuwajiban bagi orang-orang
yang bertaqwa" (Al Baqarah: 241)
Selain itu tidak halal bagi suami (yang
mentalak) bersikap keras terhadap isterinya atau menyebarkan keburukannya atau
menyakiti dirinya dan keluarganya. Allah SWT berfirman:
"Talak (yang dapat dirujuki) itu dua kali. Setelah itu boleh rujuk
lagi dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik." (Al
Baqarah: 229)
"Dan janganlah kamu melupakan keutamaan di
antara kamu." (Al Baqarah: 237)
Inilah talak yang disyari'atkan oleh Islam.
Sungguh itu merupakan terapi yang diperlukan pada saat dan alasan yang tepat,
dengan tujuan dan cara yang benar.
Agama Masehi Katolik mengharamkan talak
secara mutlak kecuali dengan alasan zina menurut Katolik Ortodox, sehingga
mayoritas kaum Masehi Kristen keluar dari hukum yang mereka yakini yaitu
haramnya talak. Itulah yang membuat sebagian besar negara-negara Kristen
memberlakukan hukum buatan mereka sendiri yang memperbolehkan cerai tanpa
memakai persyaratan-persyaratan sebagaimana hukum Islam dengan segala
ketentuan-ketentuan serta adab-adabnya. Maka tidak heran jika mereka itu bisa
bercerai dengan sebab-sebab yang sepele (ringan) dan akhirnya kehidupan rumah
tangga mereka terancam berantakan dan hancur.
Alasan Hak Cerai di Tangan Lelaki
Mereka bertanya mengapa hak cerai itu di
tangan lelaki dan mempermasalahkannya, maka kita jawab, "Sesungguhnya
lelaki adalah sebagai kepala rumah tangga, yang bertanggungjawab pertama kali
dan yang memikul beban di dalam rumah tangganya. Dialah yang harus memberikan
mahar dan kewajiban-kewajiban lain setelahnya, sehingga dia dapat membangun
rumah tangga di atas tanggung jawabnya. Barangsiapa dapat berbuat demikian maka
ia menjadi mulia dan tidak mungkin merusak bangunan rumah tangga itu kecuali
karena ada tujuan-tujuan tertentu, atau karena kebutuhan yang memaksa yang
menjadikan ia berkorban dengan menanggung seluruh kerugian karenanya. Kemudian
laki-laki itu pada umumnya lebih mengetahui tentang akibatnya dan lebih banyak
bertahan, serta lebih sedikit terpengaruh daripada wanita, sehingga lebih baik
jika wewenang itu berada di tangannya. Adapun wanita, ia cepat terpengaruh,
mudah emosi dan selalu hangat perasaannya. Kalau seandainya talak itu berada
dalam kekuasaannya, pasti akan sering terjadi perceraian dengan alasan-alasan
yang ringan dan perselisihan kecil. Bukan pula suatu kemaslahatan jika talak
itu diserahkan kepada Peradilan (Mahkamah), karena tidak setiap sebab talak itu
boleh diumumkan di peradilan yang kemudian menjadi permainan para pengacara dan
para penulis serta menjadi bahan perbincangan. Orang-orang Barat telah menjadikan
talak melalui peradilan, maka tidak sedikit perceraian di kalangan mereka dan
peradilan tidak henti-hentinya mengurus suami-istri yang ingin bercerai.
Bagaimana Seorang Istri yang tidak Suka Pada Suami Itu Bisa Melepaskan Dirinya?
Ada pertanyaan yang menghantui kebanyakan
orang, yaitu, "Jika talak itu berada di tangan laki-laki sebagaimana yang
kita ketahui alasan-alasannya, maka apa wewenang yang diberikan oleh syari'at
Islam kepada wanita? Dan bagaimana cara menyelamatkan dirinya dari cengkeraman
suaminya jika ia tidak suka hidup bersama karena tabi'atnya yang kasar, atau
akhlaqnya yang buruk, atau karena suami tidak memenuhi hak-haknya atau karena
lemah fisiknya, hartanya, sehingga tidak bisa memenuhi hak-haknya atau karena
sebab-sebab lainnya."
Sebagai jawabannya adalah,
"Sesungguhnya Allah SWT Yang Bijaksana telah memberikan kepada wanita
beberapa jalan keluar yang dapat membantu wanita untuk menyelamatkan dirinya,
antara lain sebagai berikut:
1. Wanita membuat persyaratan ketika aqad
bahwa hendaknya ia diberikan wewenang untuk bercerai. Ini boleh menurut Imam
Abu Hanifah dan Ahmad. Dalam hadits shahih dikatakan, "Persyaratan yang
benar adalah hendaknya kamu memenuhinya selama kamu menginginkan halal
kemaluannya."
2. Khulu', wanita yang tidak suka terhadap
suaminya boleh menebus dirinya, yaitu dengan mengembalikan maskawin yang pernah
ia terima atau pemberian lainnya. Karena tidaklah adil jika wanita yang
cenderung untuk cerai dan merusak mahligai rumah tangga, sementara suaminya
yang menanggung dan yang dirugikan. Allah SWT berfirman,
"Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami isteri) tidak dapat
menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang
bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus diri. . ." (Al Baqarah:
229)
Di dalam hadits diceritakan bahwa isteri
Tsabit bin Qais pernah mengadu kepada Rasulullah SAW tentang kebenciannya
kepada suaminya. Maka Nabi SAW bersabda kepadanya, "Apakah kamu sanggup
menggembalikan kebunnya, yang dijadikan sebagai mahar" maka wanita itu
berkata, "Ya." Maka Nabi SAW memerintahkan Tsabit untuk mengambil
kebunnya dan Tidak lebih dari itu.
3. Berpisahnya dua hakam (dari kedua belah pihak)
ketika terjadi perselisihan. Allah SWT berfirman:
"Dan jika kamu khawatirkan ada
persengketaan antara keduanya, maka kirimkanlah seorang hakam dan keluarga
laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. Jika kedua orang hakam itu
bermaksud mengadakan perbaikan, niscanya Allah memberi taufik kepada suami
isteri ini."
Penamaan Al Qur'an terhadap Majlis
keluarga ini dengan nama "Hakamain" menunjukkan bahwa keduanya
mempunyai hak memutuskan (untuk dilanjutkan atau tidak). Sebagian sahabat
mengatakan kepada dua hakam, "Jika kamu berdua ingin mempertemukan,
pertemukan kembali, dan jika kamu berdua ingin memisahkan maka pisahkanlah.
4. Memisahkan (menceraikan) karena lemah
syahwat, artinya apabila seorang lelaki itu lemah dalam hubungan seksual maka
diperbolehkan bagi seorang wanita untuk mengangkat permasalahannya ke hakim
sehingga hakimlah yang memutuskan pisah di antara keduanya. Hal ini untuk
menghindarkan wanita itu dari bahaya, karena tidak boleh saling membahayakan di
dalam Islam.
5. Meminta cerai karena perlakuan suami
yang membahayakan, seperti seorang suami yang mengancam isterinya,
menyakitinya, dan menahan infaqnya. Maka boleh bagi isteri untuk meminta kepada
qadhi untuk menceraikannya secara paksa agar bahaya dan kezhaliman itu dapat
dIhindarkan dari dirinya. Allah SWT berfirman:
"Janganlah kamu tahan mereka untuk memberi kemudharatan, karena dengan
demikian kamu menganiaya mereka..." (Al Baqarah: 231)
"Maka ditahan (dirujuk) dengan baik atau
menceraikan dengan cara yang baik..." (Al Baqarah: 229)
Di antara bahaya yang mengancam adalah memukul
isteri tanpa alasan yang benar.
Bahkan sebagian imam berpendapat bolehnya
menceraikan antara wanita dengan suaminya yang kesulitan, sehingga ia tidak
mampu untuk memberikan nafkah dan isterinya meminta cerai. Karena hukum tidak
membebani dia untuk bertahan dalam kelaparan dengan suami yang fakir. Sesuatu
yang ia tidak bisa menerima sebagai realisasi kesetiaan dan akhlaq yang mulia.
Dengan solusi ini maka Islam telah membuka kesempatan bagi wanita sebagai bekal
persiapan untuk menyelamatkan dirinya dari kekerasan suami dan penyelewengan
kekuasaan suami yang tidak benar. Sesungguhnya undang-undang yang dibuat para
ahli tidak lebih hanya menzhalimi hak-hak wanita. Adapun sistem yang dibuat
Allah SWT sebagai pencipta manusia, laki-laki atau perempuan maka tidak ada
kezhaliman di dalamnya dan tidak ada pernikahan. Itulah keadilan yang sempuma,
Allah SWT berfirman:
"Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah
yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin. (Al Maidah:
50)
Salah Faham dan Salah Terap dalam Talak
Kebanyakan kaum Muslimin telah salah dalam
menfungsikan talak. Mereka menempatkannya bukan pada tempatnya dan mereka
menggambarkan talak itu seakan seperti pedang yang dihunus lalu diletakkan di
atas leher sang isteri. Mereka juga mempergunakan sebagai sumpah untuk sesuatu
yang berat atau yang ringan. Banyak fuqaha' yang memperluas di dalam
menjatuhkan talak, sampai talaknya orang yang mabuk dan marah, bahkan orang
yang terpaksa. Padahal haditsnya mengatakan, "Tidak sah talak yang dalam
ketidaksadaran." Ibnu Abbas berkata, "Sesungguhnya talak itu
berdasarkan keperluan." Sehingga mereka juga menjatuhkan talak tiga dengan
satu perkataan ketika marah. Padahal talak itu dimaksudkan untuk menakut-nakuti
dalam pertengkaran di luar rumah, sedangkan dengan isterinya ia sangat bahagia
dan rukun. Tetapi yang dimaksud oleh nash-nash dan tujuan dari syari'ah yang
mudah di dalam membina rumah tangga dan memeliharanya, adalah mempersempit
dalam menjatuhkan talak, maka tidak sah kecuali dengan kata-kata yang jelas,
pada saat tertentu, dan dengan maksud tertentu. Inilah yang kita berlakukan,
pendapat yang dianut oleh Imam Bukhari dan sebagian ulama salaf, Ibnu Taimiyah
dan Ibnul Qayyim dan ulama lainnya memperkuat pendapat ini dan menyetujuinya,
ini pula yang sesuai dengan ruh Islam. Adapun kesalahfahaman dan salah
penerapan hukum Islam itu adalah tanggung jawab kaum Muslimin, bukan
tanggungjawab Islam itu sendiri.
Sistem Masyarakat Islam dalam Al Qur'an & Sunnah
(Malaamihu Al Mujtama' Al Muslim Alladzi Nasyuduh)
oleh Dr. Yusuf Qardhawi
Cetakan Pertama Januari 1997
Citra Islami Press
Jl. Kol. Sutarto 88 (lama)
Telp.(0271) 632990 Solo 57126
Langganan:
Postingan (Atom)